Kalau dipikir-pikir, bukan hanya Lasem saja yang menjadi pusat sejarah jalur maritim di pesisir laut timur Jawa Tengah, namun ada salah satu di kawasan desa, bernama Plawangan juga merupakan jalur transportasi maritim pada masanya.
Awal mulanya, peradaban maritim ini diawali dengan proses adanya jual beli yang dilakukan antara pribumi setempat dan para pedagang pendatang (Arab, India, Gujarat). Transaksi pemenuhan bahan bakar perut ini sudah berpuluh-puluh tahun lamanya membudaya sehingga banyak cara lain yang ditempuh untuk melanggengkan dari urusan perniagaan menjadi ikatan persaudaraan, yakni pernikahan.
Keterlibatan dari adanya manusia berjeniskan austronesia yang bergolongan mongoloid ini juga turut andil dalam penyebaran sejarah maritim. Austronesia merupakan golongan manusia yang mempunyai kelompok tertentu dan menjadi seorang penutur bahasa yang banyak dari beberapa jenis golongan manusia yang lain.
Namun, definisi lain terkait austronesia ini berbeda lagi. Menurut Munandar pada tahun 2012, mengartikan austronesia adalah ciptaan para sarjana ketika mereka harus menjelaskan adanya kebudayaan awal dalam masa para sejarah yang berkembang di kawasan Asia Tenggara. Bukti-bukti adanya kebudayaan para sejarah yang mempunyai kemiripan dengan Kepulauan Indonesia, Philipina, Taiwan, Kepulauan Pasifik hingga Kepulauan Fiji dan ke Barat bukti-bukti tersebut dapat ditemukan hingga kepulauan Madagaskar di Pantai Timur.
Ini dapat menjadi sebuah kesimpulan sementara bahwa Indonesia jelas-jelas masih mempunyai sejuta rahasia yang belum terungkap dari segi sejarah dan Kebudayaannya. Termasuk historis jalur maritim di Desa Plawangan, Kragan Rembang. Disamping itu, para peneliti kerap kali menemukan kerangka manusia austronesia berjenis mongoloid di sekitar bibir pantai Desa Plawangan.
Kemudian menurut Tsalitsatul Adawiyah, selaku pemuda Plawangan menjelaskan, dari cerita yang ada di masyarakat, plawangan berasal dari kata “lawang” Yang menceritakan dulu sunan bonang sedang melakukan dakwah menyebarkan agama islam, dan akhirnya singgah di sebuah daerah pesisir. Disitu sunan bonang mendirikan sebuah gubuk yang digunakan untuk pengobatan masyarakat setempat.
Beliau bertemu dengan seseorang di daerah tersebut, yang masyarakat sekarang kenal dengan nama Mbah Tohir. Mbah tohir kemudian menjaga sebuah pintu yang ada di gubuk sunan bonang. konon orang yang menjaga pintu tersebut disebut dengan lawang. Di versi yang lain plawangan berasal dari kata “palwa” Yang artinya perahu.
Karena orang-orang dahulu ketika bermigrasi menggunakan perahu, dan kemudian mendiami daerah tersebut. karena itu tempat pertama kali mendarat dinamakan “palwangan”. Karena pergesersn kongsonan menjadi plawangan
Plawangan memiliki berbagai macam sejarah budaya. Apalagi hingga saat ini, tradisi lama masih tetap dilestarikan. Diantaranya seperti maring udang rebon, sedekah laut, nyelelek, dan masih banyak lagi. Selain itu, ada juga kuliner khas pesisir, yakni rujak petis.
Maring udang rebon di Desa Plawangan masih menggunakan cara kuno, yaitu dengan menggunakan bambu untuk menjaring ikan. Setelah berhasil ditangkap, ikan-ikan itu dimasukkan ke dalam lesung, ditumbuk halus, dan di keringkan. Walaupun memang tidak dapat dipungkiri jika aroma tak sedap itu tercium sangat menyengat, tapi cita rasa udang rebon tersebut tidak ada tandingannya, alias enak sekali.
Akan tetapi, lambat laun para nelayan juga pernah menggunakan mesin yang lebih modern dalam pembuatan udang rebon. Disamping karena dapat menyingkat waktu dan tenaga, juga dapat memproduksi udang rebon lebih banyak. Walaupun tetap saja rasa lezatnya masih kalah jauh dengan udang rebon yang diolah menggunakan alat sederhana. Ini membuktikan jika ada efek samping atas perbedaan dua cara pengolahan yang dapat mempengaruhi cita rasa produk lokal.
Di mana mungkin lesung yang digunakan untuk menumbuk itu terbuat dari bahan alami laut yang menyerap hasil tumbukan udang rebon itu sendiri. Lain halnya dengan mesin modern yang terbuat dari tembaga, besi, kuningan.Bergeser ke waring, kali ini kita juga membahas tentang sedekah laut.
Nah, kira-kira. Apakah sedekah laut itu hanya berkonotasikan sebagai ungkapan rasa syukur atas kelimpahan rezeki yang diberikan oleh Sang Pencipta saja? menurut argumen saya, sedekah laut dapat diartikan sebagai penghilang bala dunia masyarakat pesisir dan menjadi cara khusus dalam bersedekah kepada sang pemilik alam semesta ini.
Menurut Adisty Noor Isnaeni, dalam penelitian skripsi tentang sedekah laut, sedekah itu diartikan sebagai pemberian dari seseorang yang diberikan secara ikhlas kepada yang berhak menerimanya, sedangkan secara etimologi sedekah berasal dari Bahasa Arab yaitu Ash Shadaqah yang berarti memberi, sedekah diartikan pemberian yang disunahkan.
Sedekah laut berarti menyedekahkan berbagai macam makanan maupun barang ke laut. sedekah laut merupakan tradisi yang wajib diselenggarakan pada bulan Suro setiap tahunnya. Tradisi ini merupakan warisan nenek moyang yang kemudian dijadikan sebagai ritual turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya agar tetap terjaga kelestariannya. Ini sama halnya berhubungan antara sedekah dan tradisi itu sendiri.
Sedangkan menurut Hasan Hanafi (dalam buku Moh Nur Hakim, 2003: 29) mendefinisikan bahwa tradisi (Turats) merupakan segala warisan masa lampau yang masa pada kita dan masuk dalam kebudayaan yang sekarang berlaku. Pandangan Hanafi bahwa turats itu tidak hanya peninggalan sejarah, tetapi juga sekaligus merupakan persoalan zaman kini dengan berbagai tingkatannya.
Menurut Edward Shils dalam Bisri (2007: 34) bahwa budaya tradisi tidaklah dapat berubah dengan sendirinya, terdapat potensi-potensi yang memberikan kesempatan untuk dirubah oleh manusia baik dengan sengaja ataupun tidak, demikian pula perubahannya dapat terjadi baik karena pengaruh yang berasal dari dalam maupun dari luar. Perubahan yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor interen maupun faktor eksteren.
Jadi bisa diartikan jika sedekah laut ini muncul karena adanya tradisi secara turun temurun yang memiliki nilai artistik budaya yang kental, sesuai dengan wilayahnya, yaitu pesisir. Segala ornamen yang disuguhkan untuk sedekah laut itu pun mempunyai berbagai nilai budi pekerti yang luhur tentang adidaya budaya.
Lalu, ada lagi yang namanya nyelelek. Menurut saya, tradisi lokal itu dinamakan nyelelek karena berangkat dari kata ‘ngeleh‘ dan ‘melek‘. Namun agar memudahkan masyarakat untuk menamainya, jadilah yang namanya ‘nyelelek‘. Makan-makan lauk ikan dengan bergerumun bersama teman, sanak saudara, pasangan, hingga selingkuhan menjadi titik kenikmatan sendiri.
Pasalnya, selain memakan ikan, nyelelek itu disuguhkan dengan nasi jagung. Lantas, dengan semua sejarah dan peninggalan budaya yang tetap terjaga ini, apa yang menjadi rasa keprihatinan warga Plawangan dalam mengakses sejarah kebudayaan maritimnya? Ternyata, fasilitas yang ada serta program kerja pemerintahan desa disana kurang maksimal. Sebagai contoh rumah peradaban.
Disitu para peserta mendirikan tenda yang dijuluki sebagai kemah budaya. Dua tahun yang lalu, kegiatan tersebut masih terbilang aktif dan progres, namun karena adanya peralihan wewenang dan kekuasaan. Akhirnya kemah budaya di hentikan. Isi acara kemah budaya itu sendiri meliputi sosialisasi temuan situs Plawangan serta workshop dan pameran.
Untuk itu, perlunya gerakan aktif dengan cara penelitian ulang secara mendalam, karena menurut literatur yang beredar, data-data aktual di lapangan kurang memadai untuk dijadikan sebuah riset informasi bagi peneliti maupun warga lokal Plawangan.
Dan yang paling penting, kepedulian anak muda untuk mendokumentasikan sejarah maritim dan kebudayaan dapat dipersembahkan oleh generasi selanjutnya, dan sejarah Plawangan dapat dikenal banyak orang.
Tim Redaksi