Sinar mentari yang coba memancarkan cahaya yang terlukis di langit. Tak lupa kicauan burung menandakan alarm alami bagi siapapun yang ingin menghempaskan selimut lembutnya di pagi hari untuk beraktivitas sehari-hari.

Namaku Zidan. Anak dari sepasang petani suruhan sepetak sawah dari juragan sawah yang gajinya tak seberapa nilainya. Aku dibesarkan dengan keterbatasan harap yang mulai membuatku cemas. Apakah harap hanya sebatas hinggap.

Aku masih kelas 2 di bangku SMPN 5 Ciracas. Sehari-hari aku membantu ibu menjual bungkusan nasi di sekolah. Saat waktu istirahat tiba, aku bergegas ke kantin sekolah untuk menitipkan barang dagangan ku ke Mbok Sarmini, ibu kantin yang sangat baik. Sedangkan sebagian dari bungkusan nasi itu aku jual dari pintu kelas ke kelas yang lain.

“Dan, mau dong satu.” ucap temanku yang kelasnya bersebelahan denganku.

“Iya, Fan. Tunggu sebentar ya.” jawabku sambil membawa keranjang warna ijo mentah bungkus nasi.

Tidak berselang lama, Fanur dan teman-temannya menghampiriku.

“Seperti biasa ya. Tiga bungkus.” ungkap Fanur

“Aku juga, Dan. Aku juga, Dan.” sambung teman-temannya Fanur yang ikut membeli bungkus nasiku.

“Hehehe sabar sabar masih banyak kok. Pasti kebagian.” tandasku.

Penat dan lelah selama membuat dan membungkus nasi hilang seketika kalau melihat barang daganganku diserbu teman-teman.

Namun dari kejauhan, sorot mata tajam itu mengarah di samping kiriku. Ternyata, dia Ibu Hartini. Salah satu ibu kantin di sekolahku.

“Wih, makin banyak aja daganganmu Dan. Nasiku bakalan kena saingan.” tandas Ibu Hartini.

Mata sinis tertuju pada Fanur dan teman-temannya.

“Jangan begitu bu. Kan Bu Hartini juga tahu, setiap hari Zidan jualan bungkusan nasi saat kelas satu smp.” tegas Fanur.

“Iya bu.” sahut teman si Fanur.

“Tapi kan jadinya anak-anak pada beli dagangannya Zidan. Dagangan ibu nggak laku dong jadinya. Sudahlah Zidan, kamu tidak usah lagi berjualan seperti ini. Anak itu tugasnya sekolah, bukan jualan. Awas saja ya kalau kamu masih jualan, ibu buat daganganmu tidak laku keras!” ucap Ibu Hartini yang sedari tadi ketus melihat barang dagangan Zidan yang ramai pembeli.

“Bu Hartini, maaf kalau semisal selama Zidan jual nasi di sekolah terus dagangan ibu jadi sepi. Zidan Cuma mau bantu ibu saya. Zidan juga kalau mau jajan harus jualan dulu, karena ibu juga tidak punya uang lebih. Itu pun buat modal jualan nasi lagi Bu.” Sambung Zidan yang berusaha memberikan pengertian kepada Ibu Hartini.

“Dengar ya Zidan. Urusan jualan itu tanggungjawab ibu bapakmu, bukan dilimpahkan ke anaknya. Anak itu tugasnya belajar, les, ikut ekstrakurikuler, jadi anak pintar, dapat ranking satu. Bukannya jualan.” kata Bu Hartini.

“Ada apa ini ribut-ribut. Saya dengar dari tadi kok nggak ada habis-habisnya.” tandas kepala sekolah.”

“A….a…nu bu. Ini loh Zidan, dari kelas satu sampai naik kelas dua kok masih aja jualan. Kan sudah ada tiga kantin.” sahut Bu Hartini.

“Terus. Ada masalah apa bu kalau Zidan jualan nasi.” ucap Bu Welas.

Sontak semuanya terpaku tak bisa berkutik. Termasuk Zidan, si penjual nasi bungkus.

“Bu Hartini, walaupun hal ini kesannya seperti memeras si anak untuk berjualan. Tapi berdagang kan bagus bu. Apalagi ibu, saya, dan semua orang disini tahu kalau Zidan berjualan itu untuk membantu ibunya. Tidak ada larangan, asal berjualannya di jam istirahat.” Ungkap Bu Welas, kepala sekolah.

“Maaf ya bu, Zidan buat gaduh disini.” sahutku

“Tidak apa-apa, Zidan. Ingat ya, hanya boleh di jam istirahat.” jawabnya.

“Baik Bu Welas. Terima kasih.” sambungku.

“Tuh bu. Bu kepsek saja tidak mempermasalahkan. Kok ibu yang sewot.” ungkap Fanur.

“Nur. Jangan ngomong gitu.” jawabku.

“Fanur, Dan. Bukan Nur!” tegas Fanur.

“Hahahaha.” Gelak tawa Zidan, Fanur, beserta teman-temannya meramaikan suasana yang tadinya tegang menjadi cair.

“Sudah, tidak usah dihiraukan. Kalau kamu baik, pasti ada yang nolong kan. Bukan begitu, Dan?” pungkas Fanur.

Selapas Fanur masuk ke kelasnya, hilir mudik teman-temanku membeli bungkusan nasiku sampai habis tak tersisa.

“Beli satu bungkus nasinya dong, Dan.” kata Bu Welas.

Ucapan itu sontak memberhentikan aku yang sedang menghitung hasil jualan nasi.

“Aduh. Maaf bu kepsek. Sudah habis.” sahutku.

“Wah, kurang cepat ya ibu belinya. Gapapa, besok ibu beli ya. 30 bungkus.” tandasku.

“Banyak sekali bu.” ucapnya.

“Iya, Dan. Kebetulan besok sore ada pengajian di rumah ibu. Sekalian nanti nasinya bisa dibawa pulang.” pungkasnya.

“Siap bu, terima kasih.” jawabku.

Saat ingin masuk ke kelas, Bu Welas menarik tanganku.

“Selama kamu berjualan, saya dengar nilai Matematika dan IPA menurun ya. Ada apa Dan?” ucapnya.

Sambil menunduk malu dan seraya berkata,” Iya bu. Maaf. Karena sibuk bantu ibu, sampai-sampai nilai Matematika sama IPA jadi merosot. Kalau mau les juga belum ada biaya bu. Zidan akhirnya selama ulangan harian sering remidi.” kataku.

“Iya, saya juga dapat informasi tentang itu dari Ibu Tutik dan Ibu Tika. Lain kali kalau waktunya belajar, ya belajar ya Dan. Kamu harus buat bangga ibumu juga. Jualan bisa, dapat nilai bagus juga bisa.” sahut ibu Welas

Hening yang hinggap hanya sepenggal detik itu hilang ketika Ibu Welas meninggalkanku dengan senyum ramahnya. Bel berbunyi kencang. Tepat pukul 10.00 WIB aku segera.masuk ke kelas.

“Anak-anak seperti yang ibu tugaskan kemarin, PR yang soalnya ada 10 nomor silahkan dikumpulkan di depan.”

“Ha? PR? Yang mana Dim.” kataku.

“Dan, masa kamu lupa sih. Itu loh yang minggu kemarin. Kamu tidak mengerjakan ya?” terang Dodi.

“Iya nih Dim. Gimana dong.” kataku.

“Aku tidak tahu, Dan.” sahutnya.

Jantung yang sedari tadi berpacu sangat kencang, ditambah teman- temanku mengerjakan PR dari Ibu Tika.

“Zidan, mana PR kamu.” tanya Bu Tika

“Maaf bu, Zidan lupa mengerjakan.” kataku.

“Ayo ikut ibu keluar sebentar.” sahutnya.

Langkah kaki yang mulai tak karuan arahnya dengan pikiran yang kacau dan rasa takut, hukuman apa lagi yang akan aku terima.

(Akhirnya, aku dan Bu Tika duduk di sela-sela hamparan rerumputan taman sekolah).

“Ibu sering lihat kamu tidak mengerjakan PR. Sebenarnya ada apa Zidan?” tanya Bu Tika.

Air mata jatuh di pelupuk mata dengan pilu dan aku sontak menangis sejadi-jadinya dan memeluk erat Bu Tika.

“Bu. Andaikan ibu tahu, Zidan bukannya ingin bermalas-malasan. Tapi, Zidan bingung setelah kelas tiga dan lulus SMP, apakah Zidan masih tetap bisa sekolah. Zidan tidak mau putus sekolah bu, tapi mengingat hutang bapak dan ibu, Zidan kasihan. Sampai-sampai Zidan punya pemikiran untuk putus sekolah saja demi bekerja dan bantu ibu bapak berjualan.” sahutku.

“Ya ampun. Kenapa kamu tidak pernah bilang ibu.” Tanya Bu Tika.

“Zidan takut dimarahin Bu Tika.” ungkapku.

“Ibu Tika marah karena kamu tidak mengerjakan PR. Kalau tahu begini, apa ibu harus marah?” tegasnya.

“Tidak bu.” ucapku sambil geleng-geleng kepala.

“Gimana kalau kamu les saja dirumah ibu. Mau?” sahut Bu Tika.

“Zidan tidak pu…” kataku yang dipenggal oleh Bu Tika.

“Ssst diam. Lesnya gratis. Tapi kamu harus janji buat ibu bangga dengan kamu bisa dapat nilai bagus dan ranking satu.” pungkasnya.

“Kalau nilai bagus, Zidan usahakan bisa bu. Tapi kalau….” sahutku.

“Kok pesimis sih, masa siswa ibu pandai jualan nasi bungkus tapi kalau mau jadi rangking satu tidak berani.” imbuhnya.

“Ya sudah bu. Zidan siap!” jawabku.

“Sip. Ya sudah. Ayo kita ke kelas lagi. Kasihan, temanmu pasti nunggu.” tandasnya.

Selama jam pelajaran berlangsung. Hatiku sangat cemas dan sekaligus senang. Di satu sisi, aku senang kalau Bu Tika menawarkan les gratis padaku. Tapi, di sisi lain, aku harus jadi rangking satu.

Akhirnya, tepat pukul 13.00 siang, bel berbunyi. Dan itu tandanya untuk pulang. Selama perjalanan pulang mengitari desa ke desa aku masih memikirkan pesan yang dilontarkan Bu Tika padaku.

“Aduh. Apa bisa sih aku dapat rangking.” kataku.

Pertanyaan itu berulang kali aku ucapkan sampai di depan pintu rumahku.

“Loh loh. Tumben nggak assalamualaikum. Main masuk saja.” kata ibuku.

“Hehe lupa bu, assalamualaikum.” sahutku.

“Nah, gitu dong. Waalaikumsalam.” jawab ibuku.

“Bu. Boleh aku bertanya?” ujarku.

“Ada apa Zidan, anakku sayang.” pungkas ibuku

Detik itu juga, aku melampiaskan segala kegundahanku kepada ibuku yang sedari tadi memetik daun singkong untuk direbus buat stok jualan besok. Aku melihat wajah ibu yang teduh seraya mendengarkan kata per kata yang aku ucapkan. Tanpa satu patah kata memotong pembicaraanku. Ternyata, ibuku sudah renta. Raut wajah senja yang berkalut mendung terlihat jelas dari rona mataku.

“Ibu sangat bersyukur. Alhamdulillah. Kalau Ibu Tika bersedia mengajar les tanpa dipungut biaya. Untuk hal lain, ibu kira kamu bisa Zidan. Percayalah. Ibu akan senantiasa mendoakanmu.” sahutnya.

Malam pun hadir mengitari kabut yang mulai enggan berselancar untuk lebih jauh mendinginkan cuaca. Aku langsung bergegas menemui Bu Tika dikediamannya yang tidak jauh dari tempat tinggalku.

Ku kayuh sepeda dengan harapan yang tersengal-sengal. Keringat dingin tubuhku mengguyur semua kekhawatiranku selama perjalanan. Sekitar 20 menit lamanya, tibalah aku di rumah Bu Tika.

“Assalamualaikum. Selamat malam. Ini Zidan bu.” sahutku.

“Waalaikumsalam. Oke Zidan, silahkan masuk.” jawabku.

Aku bergegas masuk dan mengunci pintu rapat-rapat. Lalu, kehadiranku disambut hangat oleh Bu Tika.

“Sini Zidan. Mulai sekarang, kamu fokus belajar Matematika dan IPA dulu ya. Setelah itu, baru nanti les mata pelajaran yang lain ya.” Kata Ibu Tika.

“Siap bu guru.” ucapku.

Awal malam itu pun aku berusaha belajar dan menanamkan niat dalam hati, bahwa Zidan penjual nasi bungkus layak untuk mendapatkan nilai bagus dan menjadi juara satu di kelas. Walaupun masih harap-harap cemas. Aku yakin, aku pasti dapat rangking satu.

Satu bulan berlalu, hingga fajar bertemu dengan senja, lalu diikuti oleh malam yang temaram. Aku belajar dengan menerapkan cara-cara yang Bu Tika ajarkan padaku.

Hingga akhirnya….

“Pagi anak-anak. Hari ini, ibu akan menyerahkan hasil ulangan akhir semester semester genap.” kata Bu Tika.

Nama satu per satu murid telah dipanggil untuk maju ke kelas. Semakin tambah degupan jantung berpacu tak berirama.

“Siti Rosyidah”

“Ratna Wulandari”

“Tomi Kurniawan”

“Dodi Nur Rahman”

Dan tiba saatnya….

“Zidan Afrian Sutomo”

“Tuh sudah dipanggil. Sana maju.” jawab Dodi.

“I…ii..ya Dod.” kataku.

Urat senyum Bu Tika menyambut kedatanganku yang sedari tadi perasaanku berkecamuk tak karuan.

“Selamat Zidan. Nilaimu sempurna.” sahut Bu Tika sambil menyerahkan kertas ujianku.

“Apa bu? sempurna?” jawabku sampai terbelalak mataku.

Ku lihat kertas bertuliskan angka yang terbilangkan 100.

“Alhamdulillah Ya Allah. Bu Tika, terima kasih banyak. Terima kasih ibu sudah mau membimbing Zidan sampai saat ini.” ucapku.

“Sama-sama. Ini juga hasil kerja kerasmu.” imbuhnya.

“Kerja keras Bu Tika juga.” ujar Bu Tika.

“Hehehe iya. Imbang ya.” terangku

“Siap bu.” kata teman-teman.

Setelah selesai, membagikan kertas hasil ujian akhir semester mata pelajaran IPA, Bu Tika sekaligus wali kelasku mengumumkan siapa saja yang mendapatkan juara 10 besar.

“Nah, anak-anak. Sebelum pulang, ibu ingin memberitahukan kepada kalian semua siapa saja yang memperoleh rangking 10 besar di kelas. Dan, ternyata sangat mengagetkan. Karena perubahan rangking ini sangat terlihat.” kata Bu Tika.

“Ranking 10 jatuh kepada Ningrum Kumala Sari.”

“Rangking 9 jatuh kepada Selin Raharjo.”

Semua rangking 10-2 pun sudah disebutkan oleh Bu Tika. Nampaknya raut senangku berubah menjadi lesu.

“Sepertinya tidak dapat rangking.” jawabku.

“Daaaaan…..rangking 1 diraih oleh Zidan Afrian Sutomo.” sahutnya.

Tepuk tangan yang bergemuruh serta wajah heran semuanya tertuju padaku. Entah ini mimpi atau nyata. Ini seperti tak nyata.

“Selamat, Dan.” ucap Dodi.

“Selamat bro.” kata Dian.

“Terima kasih semuanya.”

Aku langsung menuju ke depan sembari memeluk Bu Tika.

“Zidan tidak menyangka bu. Sekali lagi terima kasih. Ibu sudah mau mengajar Zidan sampai-sampai Zidan dapat rangking satu di kelas.” sahutku.

“Sama-sama Zidan. Intinya satu, jangan putus harapan, jangan pesimis, boleh berdagang asal nilainya bagus dan rangking satu.” tandas Bu Tika.

“Hehe siap bu.” jawabku sambil menahan haru.

Dan, momen ini tidak akan hilang sampai kapanpun. Terima kasih Bu Tika.