Sumbergirang merupakan sebuah desa kecil di Lasem yang disana terdapat banyak pondok pesantren. Banyak ulama besar yang lahir di desa ini. Sebut saja KH. Baidlowi bin Abdul Aziz ( Al-Wahdah ) dan KH. Hamid Pasuruan ( Al- Fakhriyyah ). Dimana ibu nyai Hj. Muhimmah Thoyfoer merupakankeponakan dari KH. Hamid Pasuruan.
Beliau merupakan anak ke 11 dari 11 bersaudara, atau biasa disebut dengan anak bungsu. Beliau adalah putri yang cantik, lemah lembut, sopan santun dan senang bersilaturahmi, beliau ialah Ibu Nyai Hj. Muhimmah. Putri dari KH. Fathurrohman dan Ibu Nyai Hj. Asiyah.
Beliau lahir tepatnya pada tanggal 15 September 1960. Ibu nyai Hj. Muhimmah Thoyfoer pada masa kecilnya sering bertukar makanan atau saling bertukar pakaian dengan teman sebaya yang non muslim. Bahkan orang tua ibu nyai Hj. Muhimmah Thoyfoer mengajarkan untuk tidak menolak kiriman makanan dari mereka. Sungguh sikap toleransi yang sangat luar biasa.
Masa kecil beliau yang berada di lingkungan pesantren yang jelasnya sangat membentuk pribadi yang sederhana dan santun. Pondok pesantren yang pernah disinggahi oleh beliau yakni pondok pesantren Al Hidayat Lasem, dan pondok pesantren Salafiyyah Pasuruan.
Saat masih duduk dibangku SD, ibu juga mengaji di Mbah Nuriyah pesantren Al-Hidayat Lasem. Disana beliau mengaji Al Qur`an, Tafsir, Hadist, Nahwu dan berbagai ilmu lainya. Bukan hanya itu saja, selepas menimba ilmu di pondok pesantren Al Hidayat Lasem, beliau melanjutkan untuk menimba ilmu agama di pondok pesantren Salafiyyah Pasuruan yang didirikan oleh KH Hamid Pasuruan yang tak lain dan tak bukan ialah pamannya sendiri..
Beliau Ibu Nyai Hj. Muhimmah Thoyfoer pada masa gadisnya sudah aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Organisasi di Nahdlatul Ulama yakni di Fatayat dan Muslimat yang saat itu kegiatanya seringkali bersamaan. Bukan sekedar aktif di organisasi, beliau pada masa itu juga menerima job untuk mengaji atau bersholawat saat ada acara-acara.
Sampai beranjak dewasa, beliau mengabdi di pondok pesantren tersebut hingga akhirnya menemukan sang belahan jiwanya dengan kisah cinta yang sangat dramatis lagi romantis yang dikala itu beliau dijodohkan oleh pamanya sendiri (KH. Hamid Pasuruan) dengan KH. Thoyfoer Thomafi yang juga merupakan aktivis di Organisasi NU walaupun sebenarnya bukan beliau yang ia suka, melainkan orang lain yaitu teman dari KH. Thoyfoer Thomafi. Akan tetapi karena taat kepada orang tua, beliau patuh saja untuk dijodohkan dengan KH. Thoyfoer Thomafi.
Pernikahan yang terjadi antara Ibu Nyai Hj. Muhimmah dengan KH. Thoyfoer Thomafi benar-benar pernikahan yang tidak terduga. Walaupun begitu pernikahan tersebut merupakan pernikahan yang sangat indah karena pernikahan tersebut terselip sebuah karomahnya KH. Abdul Hamid Pasuruan.
Seperti dikisahkan di buku biografi beliau KH. Thoyfoer Thomafi bahwasanya beliau berniat untuk sowan ke ndalem KH. Abdul Hamid Pasuruan sembari menyampaikan keinginan temanya untuk menikahi Ibu Nyai Hj. Muhimmah. Akan tetapi beliau KH. Hamid Pasuruan menyatakan bahwa “muhimmah adalah calon istrimu.” Ungkapnya.
Dengan sangat terkejut mendengarkan pernyataan dari sang kyai, beliau tidak berani pulang ke Lasem dan akhirnya beliau memutuskan untuk ke Lekok menemui sahabatnya.
Sesampainya di Lekok, sahabatnya pun menanyakan hal tersebut, dengan pelan-pelan beliau menceritakan kejadian tersebut kepada sahabatnya kiai Mustofa. Mendengar ceritanya, beliau Kiai Mustofa memerintahkan kepada beliau untuk menuruti perkataan dari KH. Hamid Pasuruan untuk mempersunting Ibu Nyai Muhimmah. Dengan perasaan campur aduk serta kegalauan yang sangat berat karena bagaimana mungkin wanita yang disukai sahabatnya tersebut harus menikah dengan dirinya.
Dan tibalah proses pernikahan itu yang dihadiri oleh KH Abdul Hamid Pasuruan yang berlangsung pada hari Jum`at Pon, 22 Rabi`ul Awwal 1387 H atau bertepatan pada tanggal 30 Juni 1967, jam 09.00 WIB. Dan saat itu KH. Abdul Hamid Pasuruan memberikan kado sebuah sarung untuk dipakai pada saat prosesi akad nikah.
Biduk rumah tangga yang terjalin antara KH. Thoyfoer Thomafi dengan Ibu Nyai Hj. Muhimmah tidaklah hanya dibumbui oleh rasa senang apalagi bahagia saja. Terdapat rasa kecewa bahkan kesedihan lantaran begitu banyaknya fitnah, ancaman serta bullyan yang mendera KH. Thoyfoer Thomafi dan Ibu Nyai Hj.Muhimmah. Akan tetapi beliau menghadapi ujian tersebut dengan sabar dan ikhlas.
Pada masa itu, dalam buku biografi KH. Thoyfoer Thomafi yang berjudul Jejak Sang Bijak, tertulis bahwa pada saat pemilu 2004, atas saran sang istri beliau diminta mundur dari hiruk pikuknya politik karena usia yang semakin senja. Bukan hanya alasan itu saja, akan tetapi sang istri ingin agar suami tercintanya tersebut bisa lebih memfokuskan untuk mengelola pondok pesantrenya.
Alhasil beliau menyetujui saran dari istrinya itu. Tapi sebelum itu, beliau ingin sowan dulu kepada KH. Maimun Zubair, apakah harus mundur atau tidak. Setelah sowan, ternyata Mbah Maimun tidak mengizinkan KH. Thoyfoer Thomafi untuk mundur di rancah politik, karena partai masih membutuhkan tenaga dan fikiranya. Bu Nyai Muhimmah tentu bisa menerima hal itu dengan syarat bahwa dalam periode 2004-2009 merupakan periode terakhir dalam berkarir di politik.
Saat akan diberikan gelar Doktor Honoris Causa baik di perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri pun, Ibu Nyai berpesan kepada suami tercinta bahwa “Orang itu yang penting tidak dianggap pintar, tetapi bagaimana ia pintar berbuat”.
Dikaruniai 14 orang anak, namun yang sehat sampai dilahirkan yakni 11 anak. Melahirkan dan mengasuh ke 11 anak bukanlah hal yang mudah, akan tetapi Ibu Nyai menghadapi itu semua dengan sabar.
Nama-nama anak dari Ibu Nyai Hj. Muhimmah yakni Hj. Nurul Widad Thomafi, Hj. Raudlatul Janah Thomafi, Hj. Khoiriyah Thomafi, H. Muhammad Arwani Thomafi, H. Muhammad Luthfi Thomafi, dr.Minhatul Maula Thomafi, H.Muhammad Abdul Hamid Thomafi, Nihayah Rohmah Thomafi, Nur Asiyah Sholihah Thomafi, H.Muhammad Abil Mafahim Thomafi, dan Nadia Fathimah Thomafi.
Dengan memiliki 11 anak merupakan karunia serta nikmat yang tak terhingga untuk Ibu Nyai Muhimmah. Karena pada dasarnya telah dijelaskan di hadist dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Apabila manusia itu telah mati maka terputuslah dari semua amalnya kecuali tiga perkara yakni Shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendo`akan kedua orang tuanya.”
Itu sangatlah diyakini oleh beliau bahwasanya anak yang sholeh akan selalu mendo`akan kedua orang tuanya. Ibu Nyai yang dikala itu diuji dengan segala ujian dan cobaan dimana beliau harus juga terjun untuk menanggulangi perekonomian keluarga, dengan menjadi tukang rias, menjahit bahkan menjual kacang di setiap warung yang dibantu oleh salah satu santrinya. Tapi, walaupun begitu, Ibu Nyai tidak pernah meninggalkan peranya sebagai istri dan seorang pengelola serta pengasuh di pondok pesantrenya yaitu Pondok Pesantren Al Hamidiyyah Lasem.
Tak hanya ini saja, beliau juga memiliki riyadloh dan wirid yang beliau selalu bahkan sering diucapkan ketika selesai sholat fardhu atau sunnah berjama`ah kepada santri-santrinya atau bahkan saat melakukan aktivitas yang lain seperti menjahit, memasak, mengasuh anak bahkan di sela-sela menyimak bacaan ngaji para santri. Ibu Nyai tidak pernah meninggalkan sepenggal aktivitasnya dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Dan berdzikirlah pada Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” ( Q.S Al-Jumu’ah Ayat 10 )
Keuntungan dalam berdzikir sangatlah banyak diantaranya memiliki ketenangan hati dan hilangnya rasa takut, dan yang tak kalah dari keutamaan berdzikir yakni menguatkan ingatan yang sudah sangat jelas kebenaranya.
Beberapa wirid atau dzikir yang beliau amalkan dan ditularkan kepada santri-santrinya yaitu dzikir harian ( dzikir ba’da sholat maktubah atau 5 waktu, tambahan setelah wirid ba’da maghrib membaca surat Yasiin dan surat Waqi’ah, tambahan setelah wirid ba’da shubuh membaca 2 ayat terakhir pada surat Waqi’ah dan membaca Ya Lathiif 129 x beserta do’anya ), adapun dzikir mingguan ( Membaca Rotibul Haddad 2 minggu sekali yang beliau dapatkan ijazah dari paman beliau KH.Hamid Pasuruan, membaca Surat Al-Kahfi setiap jum’at pagi, membaca manaqib Syeikh Abdul Qodir Jaelani serta membaca 5 surat yakni surat Ad-Dukhon, Al-Waqi’ah, Al Mulk,Yasin, dan Ar-Rahman.
Sedangkan riyadloh yang biasa dikenal dengan tirakat atau ngempet. Menahan hawa nafsu dengan melakukan amalan-amalan tertentu yang dilakukan secara rutin atau istiqomah. Riyadloh memang identik dengan ciri khas pesantren.
Maka,riyadloh yang dilakukan Ibu Nyai Hj. Muhimmah Thoyfoer ialah membaca wirid-wirid dan melanggengkan puasa sunnah, mengaji Al Qur’an, bersedekah kepada anak yatim atau kaum dhuafa serta bersilaturahmi kepada sanak keluarga bahkan kepada alumni-alumninya. Dan tak bisa dipungkiri, bahwa beliau adalah ahli dalam bersilaturahmi.
Beliau bukan hanya seorang istri, ibu serta bu nyai saja, akan tetapi beliau juga merupakan aktivis dari organisasi NU ( Nahdlatul Ulama ) yang cukup terkenal pada masanya. Karena menurut beliau jika kita aktif berorganisasi, maka dapat menebarkan manfaat kepada orang lain. Beliau pernah mengabdi dan aktif di Fatayat NU dan Muslimat NU. Beliau juga pernah menjadi ketua PW WPP ( Wanita Persatuan Pembangunan ) pada saat suami beliau menjabat sebagai ketua DPW PPP Jawa Tengah yang pusat kegiatanya ada di Kota Semarang.
Beliau juga aktif di jam’iyyah Marsha ( Mar’atus Sholihah ) yaitu majelis ta’lim milik WPP, selain itu beliau pernah menjadi ketua IHM NU cabang Lasem, sebuah perkumpulan untuk ikatan haji muslimat NU cabang Lasem, serta beliau juga aktif di JQH Lasem ( Jam’iyatul Qurro’ wal Huffadz ) yakni perkumpulan untuk para pembaca dan penghafal Al Qur’an
Hingga akhirnya, lambat laun usia beliau semakin menambah dan mulai senja. Beberapa kali masuk rumah sakit karena sakit yang dideritanya. Setahun sebelum beliau wafat pada bulan Mei 2016 kondisi beliau menurun. Puncaknya pada Bulan September 2016, beliau sempat dirawat di RS Semarang.
Beliau sempat memberitahukan bahwa jika ia sudah sembuh, beliau ingin sekali ke baitullah yang akan didampingi oleh anak beliau Hj. Nurul Widad Thomafy. Hingga akhirnya beliau sembuh dan mendapatkan kesempatan untuk ke baitullah bersama anaknya pada tanggal 26-27 September 2016. Dan kesepakatan semua keluarga dalam pemberangkatan beliau ke baitullah dilaksanakan bulan maret 2017.
Selepas pulang melaksanakan ibadah umroh,beliau masih aktif dalam kegiatan mengurus para santri dan juga aktif dalam dunia organisasi yang beliau tekuni. Dan seminggu sebelum beliau wafat, Ibu Nyai disibukkan dengan acara haul suami tercinta KH.Thoyfoer Thomafy yang ke- 10, akan tetapi kondisi beliau semakin lama semakin lemah.Alhasil beliau harus dirujuk ke rumah sakit.
Sebelum kepergian beliau, Ibu Nyai Hj. Muhimmah Thoyfoer masih bisa membenarkan bacaan mengaji dari anak beliau yang ke 8 yaitu Nihayah Rohmah Thomafy. Dengan wajah yang letih nan sayu beliau mendengarkan dan membenarkan bacaanya, beliau sempat membenarkan bacaan mengajinya sampai 3 kali dan setelah itu beliau menghembuskan nafas terakhirnya tepat di pangkuan Nihayah Rohmah Thomafy ( anak ke – 8 ).
Meninggal dalam keadaan sedang mendengarkan, membaca serta membenarkan beberapa ayat Al-Qur’an merupakan bukti kecintaan beliau terhadap Al-Qur’an sampai di penghujung usianya beliau meninggal dalam keadaan mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Ibu Nyai Hj. Muhimmah Thoyfoer wafat pada tanggal 8 Muharram 1439 H yang bertepatan pada hari Rabu tanggal 27 September 2017. Banyak kisah serta nasehat-nasehat dari beliau yang patut untuk kita lestarikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya perbuatan yang mulia yang telah dipraktekkan langsung oleh beliau yang nantinya memberikan sebuah kebaikan dan manfaat untuk diri sendiri maupun bagi orang lain.
Beliau adalah ahli ibadah, ahlul Qur’an, ahlul Shadaqah, ahlul silaturahmi. Dengan keistiqomahan beliau dalam melakukan semua itu dan kita sebagai generasi muda patut untuk meneladani apa yang beliau ( Ibu Nyai Hj. Muhimmah Thoyfoer ) lakukan.
Karena,”sebaik-baiknya manusia, ialah manusia yang dapat bermanfaat bagi orang lain.” Demikian tulisan biografi ulama yang saya buat. Semoga adanya cuplikan biografi ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua.
Dengan adanya ini, saya bisa berbagi cerita untuk memperkenalkan sosok ulama wanita yang sangat banyak menorehkan separuh hidupnya untuk ummat dan tak terkecuali untuk Nahdlatul Ulama (NU).
Kiranya ada kata-kata yang kurang berkenan atau belum bisa dipahami, saya minta maaf.
Nb. Tulisan ini merupakan rangkuman dari buku Ibu Hj. Muhimmah Thoyfoer Dalam Kenangan yang dibuat oleh putri beliau yakni Nur Asiyah Sholihah Thomafy atau biasa dipanggil Lilik Thomafy.
Tim Redaksi