
Masalah-masalah yang dialami oleh siswa-siswi dalam proses pembelajaran. Entah dari faktor internal maupun faktor eksternal. Itu semua dapat memicu kurang atau lebihnya perkembangan anak dalam menangkap ilmu pengetahuan yang dipaparkan oleh pengajar. Berdasarkan permasalahan ini, kita akan fokus membahas terkait akibat perilaku siswa dalam menghadapi proses belajar.
Dari sekian juta masalah, kita tahu bahwa salah satunya masalah perilaku siswa yakni merasa terisolir. Apa itu siswa terisolir? Menurut Andi Mappiare ( 1982 ), siswa terisolir itu siswa yang jarang dipilih atau seringkali mendapat penolakan dari lingkungannya, salah satunya adalah kemampuan daya pikirnya yang rendah atau bodoh.
Dari perspektif beliau terdapat kata yang berarti “bodoh”. Apa iya, anak yang terisolir riwayat utama siswa tersebut ada riwayat bodoh? atau ada faktor lain yang menjadi pemicu anak tersebut menjadi terisolir atau tersisihkan dari lingkungan sekolahnya? Mari kita simak. Menurut saya, siswa terisolir ialah siswa yang menarik diri di lingkungan sekolah karena merasa ia kurang menarik, tidak ada motivasi dari pihak keluarga maupun sekolah, serta kurangnya rasa aman yang dirasakan oleh anak tersebut.
Tidak heran jika banyak ditemui perilaku yang membuat para pengajar bertanya-tanya terhadap siswa-siswanya. Acap kali keluarga menyepelekan masalah tersebut dan akhirnya menjadi semakin larut dan terbawa sampai anak tersebut dewasa. Tidak ada siswa bodoh, semua manusia mempunyai cara unik dan tingkat penangkapannya masing-masing. Hanya saja mungkin dalam mengekspresikan, tidak direspon baik oleh guru.
Misalnya, anak A mempunyai teknik belajar harus dengan kondisi sekitar yang tenang, hening, dan sunyi sementara anak B mempunyai cara lain dengan mata tertidur akan tetapi telinga dan otak dapat mendengarkan secara baik apa saja yang dijelaskan oleh guru. Tidak jarang pula pengajar selalu menganggap bahwa siswa tidur didalam kelas besar kemungkinan anak tersebut tidak mendengarkan penjelasannya. Padahal tidak seperti itu.Dari penjelasan diatas, sepertinya ada faktor lain yang memicu timbulnya rasa terisolir dari benak siswa-siswi, yakni karena faktor ketidakharmonisan keluarga yang ada dirumah. Ini menjadi faktor utama bahkan dapat mencapai persentase 95 % timbulnya masalah perilaku dalam anak di lingkungan sekolahnya.
Keretakan keluarga yang berdasarkan dari segi ekonomi, psikologi, sosial yang membuat peserta didik menarik diri dan enggan memperhatikan penjelasan mata pelajaran dari guru dengan baik. Kita samakan dengan penyebab kurangbaiknya jalinan keluarga yang disebabkan oleh keadaan ekonomi. Keuangan yang tidak stabil yang membuat si ibu tidak bisa membelikan baju baru untuk sang anak. Otomatis dari penampilan, anak itu merasa bahwa dia tidak menarik dimata teman-temannya. Alhasil ia akan menerima bully-an yang sangat dahsyat karena bajunya lusuh atau kusam.
Sedangkan dari segi psikologi keluarga yang tidak sehat, siswa yang mengalami toxic positivity akan cenderung lambat atau mungkin menjadi tidak percaya omongan orang lain. Umpan balik dari keluarga terkait masalah anak yang ada di sekolah seolah-olah menjadi hal sepele dan mengira bahwa itu tidak perlu untuk dibahas.
Kemudian dari tingkat sosial keluarga, strata sosial antara menengah ke atas dan menengah ke bawah menjadi jurang pemisah yang sangat mencolok untuk di bedakan. Banyak beberapa kasus siswa dari keluarga kaya yang enggan berteman kepada siswa dari keluarga miskin karena tidak mampu menyeimbangi gaya hidupnya seperti membeli jajan, berpakaian, gaya berteman, dan lain-lain.
Dan dari hal ini, siswa yang berasal dari keluarga yang tidak mampu merasa kurang percaya diri untuk berteman, belajar semakin meningkat. Imbasnya, peserta didik tersebut enggan belajar.Untuk itu, agar siswa yang merasa terisolir ini tidak semakin menggerogoti psikis peserta didik. Para guru, Bapak, Ibu harus lebih peka lagi terhadap anak-anak tersebut.
Dengan selalu mendukung, memberikan keamanan, menasehati tanpa memarahinya mungkin dapat meminimalisir timbulnya siswa terisolir. Oke jika masalah yang dikira kecil itu tidak sampai membuat peserta didik depresi. Lantas, jika siswa itu sampai bunuh diri, siapa yang rugi dan kehilangan generasi negeri?.
Leave a Reply