
Menyinggung soal pendidikan yang sering dipikirkan oleh kebanyakan orang bahwa pendidikan itu hanya sebuah formalitas. Alih-alih kalau dapat keberuntungan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai jurusan kuliah yang ia ambil setelah empat tahun yang lalu. Lantas? Seberapa penting pendidikan itu ? bagaimana sebenarnya pola pembelajaran yang sesuai untuk Negara Indonesia? Lebih-lebih yang terbaik untuk seorang mahasiswa yang mengenyam pendidikan di kampus yang masih terbilang baru dan berkultur pondok pesantren. Apakah harus sesuai dengan kultur pondok pesantren, atau lembaga pendidikan yang terlibat harus dapat memadukan kultur yang bersifat umum?
Dari sini, kita bahas satu persatu. Titik ukur pentingnya pendidikan untuk makhluk hidup atau manusia ini selaras dengan tumbuh kembangnya pola perkembangan dari segi ilmu,kognitif,sosial, serta psikologisnya. Dan hematnya lagi, tidak gampang dibodohi oleh orang bodoh. Bayangkan saja jika manusia tersebut tidak berpendidikan, akan menjadi seperti apa? pedoman dalam mengarahkan suatu pemikirannya bagaimana? Dalam artinya, pendidikan merupakan suatu usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mencari ilmu agar terjadi peningkatan intelektual dengan mengetahui segala pola,metode, dan strategi-strategi di dalam proses pembelajaran yang melibatkan guru, siswa-siswi, mahasiswa, kepala sekolah, staff , tata usaha ( TU ), dan lembaga pendidikan.
Lantas, bagaimana pola pembelajaran yang sesuai dengan negara kita, Negara Indonesia? Dalam proses pembelajarannya terdapat perubahan-perubahan kurikulum yang dilakukan dari tahun ke tahun. Mulai dari kurikulum 1974 sampai tahun 2015 yang akan datang, terlihat jelas perubahan dalam setiap metode yang diajarkan. Menurut Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa metode mengajar adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam mengajarkan mata pelajaran. Sedangkan menurut saya, metode mengajar jika hanya terlihat biasa-biasa saja ( monoton ) tanpa adanya sebuah kreatifitas dan inovatif yang dilakukan seorang pengajar, sepertinya akan terjadi stagnan dan metode belajarnya hanya sekadar itu-itu saja, tidak berkembang.
Apa salahnya dengan memilih pendidikan tinggi yang masih berstatus sekolah tinggi? Apa salahnya calon mahasiswa-mahasiswi baru memilih kuliah yang berkultur pesantren? Hal ini menjadi sorot perhatian dari saya selaku pemudi yang juga masih berstatus mahasiswi semester muda.
Tulisan ini tidak serta merta menghakimi atau menilai buruk perihal budaya yang ada di pesantren. Kita tahu sendiri bahwa setiap perilaku,aktivitas yang ada di pondok pesantren mengajarkan akan pentingnya kedisiplinan,ketawadhu`an,kebersihan,kepatuhan,dan sopan santun. Akan tetapi masih banyak kampus yang berkultur pesantren belum sepenuhnya terbuka akan budaya akademik yang dibawa secara kultural dari dinamika pembelajaran. Santri yang berstatus ganda menjadi mahasiswa atau mahasiswi ini cenderung pasif jika proses pembelajaran di kampus berlangsung. Terlihat jelas sekali bahwa masih banyak santri maupun santriwati yang hanya mendengarkan penjelasan dari sang dosen tanpa mengajukan pertanyaan yang bersifat kritis, terbuka, dan objektif.
Hanya bisa terpaku dengan satu referensi tanpa mempertimbangkan sumber referensi lain, bahkan hanya ingin berbicara jika dosen pengampu menunjuk salah satu mahasantri untuk menjawab pertanyaan yang diberikan. Seperti anak SD, bukan? Atau, ada faktor lain yang menyebabkan mahasantri tidak terlalu aktif dan terbuka dalam pembelajaran? Menurut buku yang dibuat oleh Dr. Zakiah Daradjat, faktor yang mempengaruhi keefektifan seseorang dalam merespon proses belajar yakni karena adanya faktor lingkungan, hereditas, tekanan, paksaan, kemauan, terciptanya minat bakat, dan lain-lain. Akan tetapi, menurut saya faktor yang mempengaruhi seorang mahasantri ( mahasiswa yang statusnya seorang santri ) itu karena faktor paksaan orang tua harus menginginkan anaknya kuliah sambil mondok, alih-alih santri tersebut masih menjalani proses hafalan Al-Qur`an, belum bisa membedakan antara sendiko dawuh yang harus diterapkan di pondok itu berbeda jika sudah ada di lingkup perkuliahan, tidak ada sumber referensi, tidak adanya fasilitas yang menunjang proses belajar di pondok pesantren, malas baca buku, apatis terhadap kasus atau persoalan yang sedang marak untuk dibicarakan, dan masih berfikir bahwa dengan mendengarkan penjelasan guru itu sudah cukup.
Apa tidak bisa jika kultur umum perkuliahan dengan kultur yang ada di ruang lingkup pesantren itu untuk digabungkan? Terkait kultur umum maupun kultur khusus sebenarnya masih bisa dibahas secara berkala dan berkelanjutan.
Karena melihat semua kenyataan yang ada bahwa selain dari individunya, fasilitas, dan pola pikir yang masih belum diperbaharui ini menjadi sebuah tugas yang cukup besar untuk para pengajar dan elemen-elemen yang terkait di bidang pendidikan. Berikanlah apa yang menjadi kebutuhan mahasiswa untuk mencari, menambah sumber referensi dengan membuatkan perpustakaan, mengadakan sosialisasi kepada seluruh mahasiwa tentang bagaimana perilaku seorang mahasiswa yang sebenarnya didalam lingkungan kegiatan belajar. Dan untuk mahasiswa itu sendiri, untuk mengerti bahwa, kita sudah menjadi mahasiswa.
Dimana mahasiswa adalah seorang cendekia yang cerdas, terbuka, kritis, dan sensitif terkait persoalan, peristiwa yang terjadi di lingkungan kuliah baik itu bersifat subjektif maupun objektif.
Leave a Reply