Penistaan ​​Agama di Indonesia Kambuh Lagi

REMBANG, ayusastra.com – Indonesia lagi heboh-hebohnya perkara Bapak Panji Gumilang selaku pendiri Ponpes Ma’had Al -Zaytun. Ia diringsek oleh tim gabungan investigasi karena adanya beberapa dugaan yang mengacu pada tindak pidana salah satunya adalah penodaan agama.

Penodaan agama merupakan tindakan memelihara, penghujatan, serta berlaku tidak sopan atau senonoh terhadap agama, tokoh atau ulama, adat-istiadat, keturunan (nasab), dan keyakinan suatu agama yang dianut.

Kalau menurut saya pribadi, penodaan agama yaitu aksi malpraktek dari norma sosial dan agama dari seseorang dengan cara mencemarkan, mencemooh, menghujat, menghina, melecehkan keyakinan agama.

Hukum penistaan agama merupakan hukum yang diciptakan untuk mereka yang melakukan penistaan terhadap suatu agama tertentu. Hukum penistaan agama biasanya diterapkan oleh beberapa negara yang memiliki penduduk bermayoritas penganut agama yang kuat. (Sumber: fahum.umsu.ac.id)

Kok bisa sih, penistaan agama terjadi berulang-ulang di Indonesia?

Menurut aliansi Lembaga Riset Pew Research Center pada 2014 lalu, sekitar 26 persen atau seperempat negara-negara di dunia (50 negara) miliki hukum atau kebijakan anti – penistaan agama. Sementara itu 1 dari 10 negara di dunia (13 persen) memiliki hukuman yang melarang kemurtadan/penyesatan.

Atas kebijakan hukum anti – penistaan agama itu, Dewan HAM PBB menganggap itu sebagai pelanggaran terhadap hak sipil dan kebebasan berekspresi dan berpendapat. (Sumber: cnnindonesia.com)

Kasus-kasus penistaan agama di Indonesia yang disorot media diantaranya adalah Cerpen “Langit Makin Mendung” Karya Ki Panji Kusmin (1968), Kasus Survei Tabloid Monitor (1990), Sekte Pondok Nabi (2003), Kasus Lia Eden atau Lia Aminudin yang mengaku Roh Qudus atau Jibril, Gerakan Fajar Nusantara atau GAFATAR (2008), Tajul Muluk alias Haji Ali Murthado (2021), dan Kasus Basuki Tjahja Purnama alias Ahok (2016).

Kasus yang terkisruh mungkin ketika menimpa Ahok alias Basuki Tjahja Purnama yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dalam sebuah lawatan dinasnya ke suatu daerah di Kepulauan Setibu pada tahun 2016. Dia menyampaikan ‘suatu kalimat’ yang dianggap sebagai penistaan agama oleh sebagian umat Islam di Indonesia. (Sumber: setara-institute.org)

Ada lagi, Sukmawati Soekarnoputri: Pada tahun 2018, Sukmawati Soekarnoputri, putri dari Presiden pertama Indonesia Soekarno, dilaporkan atas dugaan penistaan agama dalam puisinya yang dianggap merendahkan agama Islam.

Dan baru-baru ini, di pertengahan tahun 2023, tindakan penistaan agama terulang kembali dan dilakukan oleh pendirinya langsung.

Aksi tolak ajaran ponpes Al Zaytun (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/nym.)

Kayaknya tidak ada kata ‘Jera’ di kamus Warga Negara Indonesia. Apa jangan-jangan, hal seperti ini menjadi sego jangan bagi masyarakat awam dan tidak memikirkan resiko jika pelecehan agama terus dilakukan?

Secara psikologis dan spiritual, seseorang pasti mempunyai kepercayaan mendalam dengan agama yang ia anut. Semakin ia percaya, semakin ia mematuhi ajaran dan menjauhi larangannya. Itu jika seseorang yang paham dan telah selesai dengan agama dan dirinya sendiri.

Akan tetapi, kebanyakan orang masih di tahap memperdalami agama, tetapi dia menjadi orang yang skeptis dengan pendapat, pernyataan, pandangan, sumber referensi berbeda selain yang ia pelajari.

Alhasil sikap fanatik dan menyudutkan suatu kaum dan ajaran menjadi tak terelakkan. Versi lain dibalik itu, minimnya pengetahuan perihal sejarah dan kebudayaan di masing-masing agama. Karena setiap agama mempunyai historinya masing-masing dan mengandung nilai dan makna tersendiri.

Contoh saja dari kasus Al-Zaytun, kok bisa beliau menganggap jika masjid sesungguhnya adalah vatikan dan di sini (Ponpes Al-Zaytun) itu tempatnya orang yang berputus asa? mungkin teman-teman mempunyai argumen sendiri terkait hal ini.

Dampak dari sikap penistaan agama, yakni menimbulkan rasa tidak percaya kepada agama yang dianut dan ingin memecah belah Kesatuan Negara Republik Indonesia dan akhirnya timbul pertikaian serta adu domba.

Lantas, bagaimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) menindaklanjuti kasus pencemaran agama?

Menurut opini saya, tugas MUI adalah menyampaikan, meluruskan, prahara tentang penodaan agama yang dilakukan oleh penista. Klarifikasinya berupa sumber ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis. Nah, sikap keagamaan ini diselaraskan juga dengan pasal 156a KUHP tentang hukum pidana penistaan agama untuk memenjarakan si pelaku.

Supaya tidak terseret melakukan ujaran kebencian terhadap agama, sebagai masyarakat cerdas kita bisa lakukan beberapa perilaku ini.

1. Belajar agama dengan guru yang jalur keturunan dan latar belakangnya baik dan benar.

Belajar itu wajib, apalagi tentang agama. Selain dapat mengatasi kita dari hausnya ilmu agama, kita dapat bekal untuk terhindar dari ajaran terorisme.

2. Menjalin hubungan pertemanan dengan orang yang berbeda agama.

Mengapa demikian? karena jika kita berinteraksi dengan orang lain, secara otomatis kita akan terlepas dari virus rasisme dan menumbuhkan humanisme.

3. Jaga omongan

Benar kata pepatah, “mulutmu harimaumu”. Lidah lebih tajam daripada pisau. Maka dari itu, berhati-hati dalam bertutur kata dan dipikir dulu sebelum berucap. Ya karena nasib masuk ke jeruji bui tidak ada yang tahu dan menjamin kapan akan dibebaskan hahaha

4. Laporkan Pelaku Penista Agama

Langkah kongkritnya adalah laporkan saja. Setidaknya, pelaku telah diketahui identitasnya oleh pihak berwajib. Untuk tindakan selanjutnya serahkan kepada yang bertugas agar pelaku dihukum sesuai pasal konsekuensinya.

(Ayu Lestari)

Ayu Sastra
Assalamualaikum. Perkenalkan nama saya Ayu Lestari, hidup di tengah-tengah sudut kota kecil yang melegenda tepatnya di Kota Lasem. Saya merupakan penulis pemula yang ingin mendedikasikan diri khususnya dibidang kepenulisan. Akun Media Sosial FB : Aeyu Loestari IG : @ayu_lestari230801 @lestari_sastra WA : 0858 - 6803 - 1099