Oleh: Ayu Lestari
@ayu_lestari230801
Potret kehidupan yang silih berganti, dari tahun ke tahun mempunyai kenangannya masing-masing. Ucapan terima kasih secara verbal pun rasanya belum cukup untuk mewakili semua pelajaran yang bisa aku petik. Baik dalam proses memaknai akan hidup, cara menyikapi masalah yang silih berganti, proses pendewasaan diri, berdamai dengan diri sendiri, belajar memahami cinta, dan lain sebagainya.
Sampai lupa berkenalan di paragraf utama. Namaku Sasya Veronika, biasa dipanggil Sasya. Aku masih di bangku kuliah semester 5 dengan program studi Ekonomi Bisnis di Universitas Veteran Jakarta.
Memang terlalu basi dan klise, namun hal seperti ini juga butuh dipresentasikan melalui tulisan sederhana. Baik, kita mulai saja tanpa bertele-tele lagi. Namun sebelumnya, aku hanya bisa memberikan secuil cerita pada tahun ini untuk bisa kalian pahami dan cermati, mungkin bisa saja untuk dijadikan motivasi. Jika memungkinkan.
“Setidaknya, Sya. Cerita hidupmu bisa dijadikan sebuah motivasi untuk orang-orang yang perlu amunisi dihidupnya.” ungkap Ridho, teman sekelasku
“Baiklah.” singkatku.
Tahun 2022. Dimana di tahun ini banyak momen dan fase yang aku lewati, sampai sekarang pun masih selalu bertanya-tanya. Ada apa, apa yang sebenarnya terjadi, mengapa harus terjadi, dan lain-lain.
Orang bilang, setiap tahun ada fasenya, dan setiap orang pasti merasakan kesakitan maupun kebahagiaan dalam hidupnya. Tepat di Bulan Oktober, tahun 2022. Banyak perubahan yang terjadi dalam hidupku. Alasannya bukan karena aku tak bisa bersyukur, namun proses pendewasaanku yang belum tuntas di tahun-tahun lalu.
“Aku terlalu denial untuk mengakui semua luka-luka di masa lalu, Dho. Jadi, aku tidak terbiasa untuk berkata jujur. Sakit sekali.” ungkapku.
“Bukan denial. Cuma, kamu belum menemukan sahabat sejati untuk bercerita panjang lebar. Kan ada aku, Sya.” Jawab Ridho.
“Iya, sih. Emang nggak ngerepotin?” ujar Sasya.
“Nothing.” Ucap Ridho sambil menatap dalam-dalam bola mata indah dari Sasya.
Sebelumnya, aku sangat senang bergaul dengan banyak orang, kesana kemari bercengkrama riang bersama kolega aktivis yang lainnya. Mencari pelampiasan yang sebenarnya itu adalah luka yang belum sembuh, namun ku paksa untuk sembuh. Duh, sangat menyakitkan!.
Hingga, suatu saat. Aku mengalami perubahan sikap yang sangat drastis. Aku merasa kesepian, aku merasa semua orang adalah beban mentalku. Aku merasa, keramaian membunuh jati diriku. Aku kehilangan kenyamanan. Hingga akhirnya, aku menarik diri dengan tidak melakukan interaksi sosial apapun. Kiranya hingga satu setengah bulan yang lalu. Hidupku hanya dipadati dengan menulis, kuliah, kerja di rumah, rebahan, tingkatkan keterampilan, nonton film di YouTube. Ya, seputar itu-itu saja.
Aku bahkan nyaman dengan kondisiku yang seperti ini. Tanpa beban, tidak ada yang menggangguku. Walaupun kesepian, tapi tidak apa-apa. Trauma dan luka batin yang terus menerus hinggap di dalam hati dan pikiranku masih setia menemani. Gayung bersambut, ternyata dua faktor itulah yang mempengaruhi. Aku, belum bisa berdamai dengan luka dan masa laluku sendiri. Bagaimana aku bisa jatuh cinta pada orang lain, jika aku belum bisa sepenuhnya untuk mencintai diriku sendiri.
Air liur dan air mata beradu setiap hari di kamar tidurku, ia seperti beradu dalam kebisuan. Aku hanya rindu masa kecilku dulu, yang penuh dengan cinta. Cinta akan kekasih pertamaku, almarhum kakekku.
Aku seperti tak bisa memaafkan semua kesalahan dari ayahku, baik yang disengaja atau tak disengaja. Terkadang aku mencoba memaklumi, tapi kebanyakan luka itu ditambah lagi.
Hingga akhirnya, semua sakit di dalam jiwa menumpuk di dada. Sesak sekali. Aku tak bisa bayangkan kalau hal ini selalu ku pendam sendiri. Akhirnya, aku memutuskan untuk bercerita dengan teman yang bisa ku percaya dan mendengarkan dengan seksama akan ceritaku.
Saat itu, aku mulai tak merasa bahwa sepi adalah nestapa. Memang menjadi dewasa itu menyakitkan. Kita dituntut untuk tak apa-apa namun dalam hati ingin meronta-ronta. Banyak tangis yang harus diganti dengan tawa dan diam. Walaupun tak bisa sepenuhnya menyembuhkan tapi hanya bisa untuk dialihkan.
Hingga kini, sampai aku bisa memahami setiap peristiwa, luka, cerita, yang telah lalu. Aku bisa menafsirkannya dengan baik secara intuisi yang tepat. Yang dulunya sering berbicara, kini hanya sedikit berbicara. Mengamati orang-orang yang sebenarnya ada yang lebih membutuhkan untuk bercerita.
“Dho. Maaf, sebenarnya kamu yang butuh menumpahkan ceritamu. Maaf, aku terlalu egois. Menganggap cuma aku yang tersakiti dengan keadaan.”
Ridho yang sedari tadi menahan tumpahan air mata yang lama kelamaan tak bisa ia bendung. Akhirnya, tumpah juga di pelukan Sasya.
“Sasya…aku bahagia kalau kamu mau cerita ke aku. Tanpa sadar, lukaku sendiri menjadi terobati.” Ujar Ridho sembari melontarkan senyum padaku.
Untuk saat ini, aku lebih memikirkan kehidupan selanjutnya harus bagaimana, tanpa mengalihkan topik utamanya, aku sebenarnya siapa dan mau menjadi apa. Terima kasih 2022, tahunmu banyak merubah sebagian dari hidupku. Menjadi dewasa memang sedikit memilukan, kalau masih di awal-awal.
Tapi aku berdoa, semoga saja tahun 2022 ini menjadi tahun awal untuk hidupku lebih bermakna dan lebih baik lagi kedepannya. Terakhir kalinya, aku hanya ingin menginformasikan bahwa di tahun ini, aku bisa menerbitkan satu buku bunga rampai (kumpulan essai) tentang self improvement yang telah lama aku idam-idamkan.
Jadi intinya, belajarlah memahami setiap kondisi dalam hidupmu walaupun itu pait.
Keren mbak ayu ..
Matur nuwun Bu Asih