Penulis: Iis Singgih Lamalera Memerah Pada senyuman petang itu Segaris jingga melengkung Memayung pandang Mengundang risau Di pintu kemarau Melintaslah kaum kami Menyerahkan diri sebagai umpan Di hangatnya laut selatan Sesekali kami hembuskan napas Semburan air serupa air mancur Pertanda kami sudah datang Membuat hati pengintai Bergemuruh riang bercampur cemas Sembilu mengiris kalbu Dari jauh kulihat jantanku Melibaskan ekor pada paledang tua Seligat gansing perahu hendak karam Dengan sigap lama fa Menghunjamkan tempuling pada jantung kotlokema "Baleo baleo baleo" Pemburu lamamera berteriak Bergetar kaki dan tangan Bercampur rasa antara Keberanian dan kecemasan Melaju dengan perahu yang begitu sangat sederhana langit semakin gelap Gulungan ombak merah merona Menguar bau anyir darah Paus jantanku mati terbunuh Ekornya melibas menggapai-gapai Hingga tak terlihat lagi kecipak air Kotlokema gugur dalam damai Demi betina dan buah hati langit perlahan jingga dalam perjalanan pulang Adat mengaharamkan suara Sekali ekorku mendebur ombak dan aku meluncur ke dalam Tak rela melepas pujaan hati Namun perahu pemburu itu tetap Hening tak bersuara Seguni berkumpul di bibir pantai Lelaki dan perempuan memakai sarung Menyambut hasil perburuan penuh debar Di atas pasir putih yang halus Pemujaan setinggi langit Kepada dewa dan roh leluhur mengalun deras Di desa yang miskin Daging jantanku yang gemuk dan penuh lemak Akan menjadi berkah selama musim gigil laut utara Lawang, 8 Maret 2022 Memungut Sajak Kaum Urban di Lorong Kereta Api / Embun subuh tersapu angin Perjalanan waktu dimulai Meniti dan manatah masa depan mengeramkan rasa Pada alur kemernyit roda baja Berduyun langkah lalu lalang dari segala penjuru : ada yang datang ada yang pergi Saling berdesakan Dorong sana dorong sini Ramai memburu asa : melajulah kereta api mengantar para pecintanya // Seorang penyair diam-diam memungut dan memilin rasa sajak-sajak kaum urban Yang berceceran di sepanjang lorong gerbong Menjadi kata-kata puitis lantas saling berkirim isyarat dari retina ke retina Menebar roman di setiap detik Meramu luka dalam bahagia /// Waktu bergulir menemu senja masih di bangku kayu ruang tunggu Penyair itu mengais sisa rasa meruang pada bilik imajinasi Langkah para pemuja senja berderap Menakar rindu pada setiap tetes peluh Gerbong kereta menepi lalu kembali melanjutkan perjalanan Membawa tubuh-tubuh bau cemas Melintasi titian jalan yang telah disepakati //// Dalam rangkum aksara Jejak urban melekat erat di benak Huruf-huruf mengalir di jari Serpih sajak menjadi syair lagu dan dunia pun kembali berirama bertemu keping bahagia dalam deru membaja : bersama laju kereta, kata-kata mengembara Lawang, 21 Mei 2022 Membangun Kota di Ruang :Drama Bangsal Tiga Belas Lamat-lamat kususun nyeri dari lanturan senja Di atas batu dan pasir dalam kungkungan sunyi Orang-orang bilang aku kerap bicara sendiri Seperti sedang berpesiar dari kota ke kota Ah, mereka tidak tahu Aku sedang tenggelam Pada rupa-rupa peri Pengusir rasa cemasku Ketika sepi mulai merayapi jiwa Aku berteriak memanggil-manggil iba Mengais sisa nyanyian kurcaci di ceruk bahagia Para peri pun kembali datang meramaikan hatiku Bertanya tentang banyak hal Yang tidak semuanya bisa kujawab dan membuat pikiranku menjadi sakit Sesekali mereka taburkan serbuk melatonin Agar aku tak meronta mencari-cari titik temu jawaban Untuk menuntaskan semua cerita Di kamar ini, lantai terasa dingin Rindu tersekap, disandera oleh waktu Tak ada lagi yang pantas diratapi atas sebuah penghakiman Di bangsal nomor tiga belas Aku membangun sebuah kota dalam diriku Dari serpihan mozaik kata untuk sebuah harapan Meletakkan prasasti takdir di panggung impian Sebagai jejak kekal persuaan yang lahir dari gelap suatu musim Ruang Kata, 5 November 2021

Tentang Penulis:
Iis Singgih lahir dan besar di kota Malang, seorang ibu rumah tangga pecinta warna ungu. Saat ini bergiat di komunitas Genitri, Pendiri Rumah Belajar Cemerlang. Bisa dihubungi di WA 085694516933 atau email iis@gmailmcom, IG: iisinggih. (Ilustrasi gambar puisi by Anita).
Leave a Reply