Picture by pixabay.com
REMBANG, ayusastra.com – Menjadi seorang koruptor memang tidak mudah. Karena menjadi sang manipulator itu harus memiliki berbagai macam cara dalam menyelundupkan aset alam untuk kepentingan suatu kelompok kecil maupun untuk kepentingan pribadi.
Menurut Suwartojo, korupsi adalah tindakan pelanggaran norma oleh seseorang atau lebih dengan menggunakan kekuasaan dan kesempatan lewat proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan, pemberian fasilitas atau jasa lain yang dilakukan dalam kegiatan penerimaan, penyimpanan uang atau aset serta dalam perizinan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan keuangan negara dan khalayak luas demi kepentingan pribadi atau kelompok (Juniadi Suwartojo, 1997).
Selain itu, Nur Syam juga memberikan pandangan bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketidakmampuan manusia untuk menahan diri dari godaan oleh dunia materi atau harta benda yang melebihi kemampuannya (Syam, 2020).
Dari sekian maraknya aksi kecerobohan manusia yang tidak bisa menjaga amanah tersebut, muncullah berbagai versi korupsi, salah satunya yaitu melalui sektor sumber daya alam (SDA).
Korupsi Sumber Daya Alam (SDA) tidak menjadi persoalan baru. Karena, telah marak kasus-kasus yang mempelopori adanya perilaku penyalahgunaan tindak pidana korupsi sehingga terjadi krisis ekonomi bagi negara, dan yang paling mengerikan adalah bencana alam berkelanjutan dari tahun ke tahun seperti halnya di Desa Tahunan, Tegaldowo, dan Mojosari.
Salah satu contoh korupsi Sumber Daya Alam, di Desa Mojosari, Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah ramai menjadi buah bibir. Pasalnya, di tempat tersebut maraknya aktivitas penambangan tanah urug seluas 4.800 meter dilakukan secara ilegal.
Alhasil, aksi menambang tersebut di laporkan warga dan diproses ke polisi. Pelaku pengurugan tanah itu mengaku melancarkan aksinya menggunakan satu unit alat berat dan dump truck. Mirisnya, penambangan tanah urug di Rembang baru berjalan kurang lebih satu bulan dan mengalami kerugian negara sekitar Rp 100 juta rupiah.
Kerugian yang tak sedikit itu pun, terpaksa mengeluarkan pajak tambang yang membengkak, sehingga utang menjadi solusi buntu. Selain itu, peringatan pinjamanan uang ini telah disampaikan kepada wajib pajak. Akan tetapi, sampai batas waktu yang ditentukan, utang tersebut belum juga terselesaikan.
Padahal, hasil dan keuntungan dari hasil tambang sudah dinikmati para wajib pajak.Ini menjadi keprihatinan bagi ekonomi dan kelestarian alam bumi pertiwi, apalagi dampaknya telah menjalar ke mana-mana, salah satunya bagi perekonomian negara, sosial, geografis yang tak merata.
Dari hal ini, kemiskinan penduduk menjadi suatu potensi yang dialami.Kita bisa lihat, berdasarkan kebijakan hukum yang dibuat pemerintah untuk mencegah dan menangani perilaku korupsi yaitu UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
Negara dikatakan bersih apabila lingkungan dan kekayaan alam terbilang bebas polusi, dapat menangani limbah dengan baik, sanitasi tercukupi, kemurnian udara, bebas bencana, tumbuh kembang flora fauna yang ideal, serta perkembangan dari unsur hara optimal. Lantas, apakah sejauh ini Indonesia dapat dijuluki sebagai negara bersih? tentu tidak.
Permasalahan tambang ilegal ini tak langsung membuat para pemegang kuasa patah arang, faktanya sampai saat ini kerap melihat penambangan urug tanah. Jika dipikir-pikir, mengapa ini masih belum bisa terselesaikan? Apakah lembaga anti korupsi dan tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi tak bekerja?.
Lembaga anti korupsi diawali dengan dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) tahun 2000, dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2006 (Elwina, 2011 ; Karsona, 2011).
Landasan hukum bagi KPK dalam melaksanakan tugas dan Wewenangnya adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 terdapat beberapa permasalahan yang menjadi penyebab kerentanan korupsi berkaitan sumber daya alam utamanya ketidapastian hukum dan perizinan, kurang memadainya sistem akuntabilitas, lemahnya pengawasan, dan kelemahan sistem pengendalian manajemen (Utari, 2011, Komisi pemberantasan korupsi, 2014, Yuntho, Easter, Caesar, & Idris, 2014).
Pentingnya penyelamatan sumber daya alam Indonesia membuat KPK mencanangkan sektor Sumber Daya Alam dan ketahanan energi menjadi salah satu fokus area pemberantasan korupsi dalam rencana strategi KPK 2011-2015.
Berdasarkan Laporan akuntabilitas Kinerja KPK Tahun 2014 terdapat beberapa upaya KPK dalam penanganan kasus TPK SDA dan kasus Tindak Pidana Korupsi Sumber Daya Alam yang telah mendapatkan penanganan KPK (Tim Penyusun Laporan Kinerja KPK, 2015).
Laporan Akuntanbilitas Kinerja KPK berisi tentang kinerja KPK. Kinerja dapat didefinisikan sebagai hasil atau capaian yang dapat berupa kuantitas atau kualitas dari suatu usaha yang telah dilakukan (Robbins & Judge, 2007).
Sebagai pemuda-pemudi pewaris kekayaan negara yang tidak terlalu banyak ini, apa yang bisa kita lakukan untuk membasmi hama korupsi Sumber Daya Alam?
Salah satunya meningkatkan nilai integritas diiringi dengan pola pikir yang maju, menerapkan sistem norma yang berlaku, dan berjiwa humanis. Karena tidak dapat dipungkiri, relasi manusia dan alam akan terus terjalin sampai akhir zaman.
Selanjutnya yaitu laporkan. Segera beri tahu kepada aparat penegak umum atau orang yang dapat dipercaya dan paham mengenai kasus tersebut. Lalu, berikan edukasi kepada masyarakat tingkat ekonomi bawah agar tidak selalu dibodohi oleh pelaku korupsi. Karena bagaimanapun, masyarakat menengah ke bawah yang mengalami kerugian akibat tindakan korupsi ini.
Selanjutnya, lakukan aksi penanaman bibit yang dapat tumbuh dan berkembang jarak waktu yang lama seperti menanam bibit pohon jati, pohon alpukat, pohon mangga, pohon mahoni, pohon petai cina dan lain sebagainya.
Terakhir adalah perkuat iman. Sebab, iman yang goyah dapat mudah menjerumuskan diri ke dalam lingkaran setan yang nikmat namun menyesatkan.
(Ayu Lestari)
Leave a Reply