KICAUAN LUKA SANG PECINTA

Pada suatu malam, sendirian dengan ditemani kerlap-kerlip bintang. Aku menengadah ke langit melihat tingginya rembulan dan menikmati malam yang hening. Tak sengaja aku terperangkap didalam kesunyian. Tak ada satupun aku dengarkan bunyi yang nyata. Yang aku lihat dan rasakan, hanya rindu pada seorang gadis yang sebelumnya tak pernah aku lihat parasnya. Namun rasanya begitu dekat seperti sudah lama mengenalnya. Dalam lelapnya bisikan sunyi, Ia melihat gadis itu dan menjawab do’anya sendiri.

            “ Ya, kau adalah jawaban dari do’aku dan mungkin kau juga sebagai pelengkapku sebagai manusia. ”Semakin tinggi sang rembulan, semakin lama aku memandang wajahmu, semakin berat hati ini untuk melepas malam karena tak jenuh aku menikmati pesonamu. Kasih. Jika benar kau adalah titipan tuhan untuk mendampingi hidupku dalam menjalani lika-liku dan tajamnya tikungan kehidupan, aku berikan dan akan aku buatkan perahu jikala hatiku sedang merindu kepadamu.

            Malam semakin menengah. Semakin hati rindu padamu. Padahal sebelumnya rindu ini bersifat semu ditengah-tengah kesunyian. Dan kini akhirnya terbuatlah satu puisi curahan hati yang kupersembahkan kepadamu.

Perahu rindu

Kubuatkan  perahu kala hati sedang dilanda rindu

Kupersembahkan kepada sukmamu yang semakin rindu

Agar dapat menyeberangi samudra pilu

Berharap perahu itu cintaku akan berbuah temu

Adakah kau diseberang sana menunggu?

Ataukah kau sembunyi atas kehadiranku?

Akankah kau takut akan rinduku yang indah ini kekasihku

Janganlah takut……

Aku membawa sejuta wewangian

Pemberian dari sang maha rindu

Samudra akan aku seberangi demi bertemu denganmu

Angan sudah tak kembali tenang

Sesak dengan pesonamu

Penuh harap bisa berjumpa denganmu

Lama aku menyendiri. Semakin lama aku terperangkap dalam sunyi. Fajarpun mulai tiba Membasahi pipiku dan berdo’alah aku sebagai sang pecinta yang kaku.

            “ Wahai do’a yang keluar dari bibirnya. Jika engkau ke langit dahulu. Bisikkan do’anya kepadaku lewat hembusan nafasnya. Engkau sampai kepadaku. Tuhan aku ingin mengabulkan do’anya dan menjadi tanganmu untuk setiap do’a yang keluar dari hati dan bibirnya.”

            Tak selesai disana saja, aku terus bersyair dan merapalkan do’aku. “aku percaya pada hembusan para pecinta, dayati. Aku tidak pernah mendatangkan badai di setiap ucapanku. Setiap helai rambutku terajut kalimat-kalimat suci. Hatiku jernih bak permata yang anggun, tidak putus untuk memuja kepada Sang Ilahi. Panas yang menyengat dari sang surya pun malu untuk menyentuh kulitku. Hanya keteduhan rembulan yang selalu menyentuh setiap detak jantungku.”

            Setiap jejak dzikir, wajah ku seakan-akan bersinar. Pantulan dari kalbu yang sedang menyatu sungguh tenang dekat kepadaku. Dan aku tahu arah yang akan ku tuju.

            Hingga pada suatu ketika, dimana saat aku yang kaku ini merenungi do’a-do’aku. Aku menemukan celah cahaya yang sangat terang menyelimuti renungan do’aku, aku tak tahu apa dan maksud dari datangnya cahaya tersebut. Hingga akhirnya, akupun membuka mata dan berkata,”Apa ini Tuhan? Apakah itu sebuah pertanda? bahwa engkau akan mempertemukanku dengan Nirmala? pujaan hati yang kudamba-damba? sudahkah tepat waktuku untukku bertemu denganya?”

Aku merasa, jikalau ini bukanlah waktu yang tepat untuk bertemu sang pujaan hatiku yang amat aku rindukan. Tapi, tak bisa aku pungkiri. Bahwa hasrat ingin bertemu dengan pujaan hatiku semakin memuncak dan membara. “Jika memang telah engkau ridhoi, aku akan mendatanginya. Kumohon, bantu aku. Jikalau tak sesuai harapan, sekiranya aku tak terlalu tersungkur terlalu dalam pada pengharapan ini.”

            Dengan terangnya pancaran yang ada padaku, aku langkahkan kaki menuju rahwana cintanya. Dimana sang pujaan hatiku menempatinya. Selangkah demi selangkah, harap demi harap, suka duka dan cita membaur bak renjana cinta yang membalut hatiku yang kaku ini. namun, aku lupa akan sesuatu…..yakni luka.

            Ya, luka itu. Atma yang masih terbalut luka getir ini pun tertatih-tatih untuk segera kusembuhkan. Luka lama, perih dan sayatan lama yang tak kunjung reda selalu menghinggapiku. aku tak mau, dengan adanya luka yang masih hinggap ini, aku bisa melukai siapapun orang yang aku cintai. Termasuk sang kekasih pujaan hatiku, Nirmala.

“Tidak! Aku tidak mau meneruskan langkah ini. Lukaku belum sembuh seutuhnya , Tuhan. Aku takut. Ada yang terluka karena lukaku. Biarkan luka ini sirna terlebih dahulu, setelah itu. Aku berjanji, Tuhan. Aku segera menghampirinya untuk menjadikanya sebagai pelengkap kesendirianku.”

Tak berselang lama. Aku mengurungkan niat untuk pergi ke rahwana cintaku. Dengan berat hati. Aku melangkah mundur selangkah dengan pasti. “aku pamit dahulu, dayati cintaku. Aku janji, aku akan segera menghampirimu secepatnya.”

            Sudah bersusah payah aku menyembuhkan luka ini dari tahun ke tahun. Tapi, belum kunjung sembuh seutuhnya. Dengan apa dan bagaimana lagi, Tuhan? Apakah luka ini sesakit duri didalam jerami? aku tak ingin seperti ini di sepanjang hidupku. Aku ingin hidup damai dengan masa laluku yang kelam,Tuhan. Perkenankanlah diri ini untuk kembali suci dan murni kembali dihadapanmu.

            Dengan deraian air mata. Tetes demi tetes pun menggenangi kedua pipi tirusku. Mengingat setiap jengkal bongkahan dosa yang lalu aku rajut. Karena tak seharusnya dosa itu terajut. “Aku telah berdosa, Tuhan. Aku sangatlah hina, apakah engkau masih sudi untuk memaafkan dosa-dosaku?”.

            “Tuhan sudi untuk memaafkanmu. Cobalah maafkan dirimu sendiri.” Seakan-akan kalimat itu hinggap dan menyelusuri gendang telingaku. Terbelalak akan kalimat itu. “apa ini? apakah ini jawabanmu, Tuhan?”

            Aku ingin berdamai dengan luka-luka yang sudah terlanjur aku rajut, tapi entah mengapa diri ini belum bisa menerima. Diri ini seakan-akan menolak untuk memaafkan. Terlalu sakit dan terlalu dalam lukaku, Tuhan. dan, jika mungkin Nirmala engkau takdirkan untuk terus bersamaku, apakah Nirmala bisa dengan telaten membalut dan menyembuhkan lukaku dengan rajutan cintanya, Tuhan? “semoga, iya.”

            Aku yang selalu merenungi luka, sang pujaan hati selalu menanti dan menunggu kedatanganku. Nirmala sabar menunggu sang arjuna untuk datang berkunjung.

“Datanglah cintaku. Datanglah sang arjunaku. Akan ku balut lukamu bahkan sampai lukamu sirna didalam atmamu. Jangan biarkan kebahagiaanmu terenggut oleh luka lamamu.” Ujar Nirmala.

“Akan tetapi, jika iya. Apakah kau sanggup mengarungi hidup denganku, sang kekasih pujaan hatiku? apa kau tak takut akan keadaanku yang tak menentu ini. Aku tak seperti insan-insan hidup yang lain. Aku berbeda. Bahkan, aku sendiripun sering letih dan jengah akan diriku sendiri.” Ujarnya.

            “Kalau cinta memang sudah tertancap dan melekat. Apapun dan bagaimanapun dirimu,  akan dengan tulus ku terima. Tak peduli dengan masa lalumu, tak peduli dengan luka-lukamu, dan tak peduli dengan keberbedaanmu. Aku bersamamu, aku ingin membersamaimu hingga Tuhan mengajakku untuk kembali pulang ke pangkuanNya.” Ujar Nirmala.

            “Baiklah. Jika memang dikau bersedia, Dayatiku. Aku akan meminangmu atas nama kicauan cintaku. Akan aku sajikan sebuah cinta yang hangat dan baru untukmu. Terimakasih, kau telah sudi memungutku dan membersihkan kotoran-kotoran di setiap bongkahan dosaku, Dayatiku. Kau milikku. Esok dan sampai nafasku engkau kembali ke inangnya.”

“Cintaku, aku tak peduli akan lukamu. Kemarilah, akan ku balut lembut lukamu bahkan sampai tak berbekas lagi.”

     Lestari_Sastra

Ayu Sastra
Assalamualaikum. Perkenalkan nama saya Ayu Lestari, hidup di tengah-tengah sudut kota kecil yang melegenda tepatnya di Kota Lasem. Saya merupakan penulis pemula yang ingin mendedikasikan diri khususnya dibidang kepenulisan. Akun Media Sosial FB : Aeyu Loestari IG : @ayu_lestari230801 @lestari_sastra WA : 0858 - 6803 - 1099