
Ayusastra.com – Kali ini, saya akan menceritakan perjalanan kisah Perang Kuning atau Perang Lasem. Walaupun terkesan lampau. Fenomena ini menjadi sejarah yang tak akan terlupakan bagi masyarakat lasem. karena peristiwa pada tahun lalu, dimana adanya perang besar-besaran yang dapat menyatukan orang pribumi dengan orang pecinan untuk memerangi para penjajah dari VOC. Awal mulanya, pada tahun 1679 lasem menjadi salah satu bagian dari Kerajaan Majapahit yang mana dibantu oleh Sunan Amangkurat II.
VOC Belanda pada waktu itu bertujuan untuk memonopoli perdagangan yang ada di pesisir pantai utara jawa. Hal itu timbullah rasa benci dari para Warga Lasem atas kedatangan dari Belanda tersebut. kemudian pada tahun 1974, Sultan Pangkubuwono l mengangkat Pangeran Tejokusumo V yang kerap dengan sebutan nama Pangeran Panji Sasongko menjadi adipati Lasem. namun, alih-alih menerima, beliau malah menolak tawaran Sultan Pangkubuwono l lantaran pangeran Panji Sasongko tidak menyukai masa kepemimpinan beliau sampai ke masa kepemimpinan Sunan Amangkurat IV. Terkejutnya lagi, Raden Panji Sasongko malah lebih memihak Arya Mataram dan Pangeran Purbaya dalam melawan belanda dan Sunan Amangkurat IV.
Setelah kejadian itu, para pemberontak di Mataram mulai berkurang, maka pada tahun 1727 Raden Panji Sasongko atau Pangeran Tejokusumo V mengundurkan diri menjadi adipati Lasem dan memutuskan untuk meninggalkan Kadipaten Lasem. Alasan beliau melakukan tindakan seperti itu lantaran beliau tidak ingin adanya kedekatan hubungan yang terjalin antara sunan dan Belanda. Bukan hanya itu saja, karena faktor kesehatan telinga beliau yang semakin berkurang (tuli). Akhirnya ia menetap di Desa Ketandhan hingga akhir hayat dan dikebumikan di Pejaratan Widara Desa Brangkal Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang.
Lain cerita, bahwa putra dari Raden Panji Margono pun tidak ingin menjadi seorang Adipati Lasem dan memutuskan hanya menjadi seorang petani. Dengan demikian, sunan menunjuk Ui Ing Kiat sebagai Tumenggung Lasem yang mana beliau adalah pengusaha asli dari Tionghoa yang beragama Islam. Beliau adalah pengusaha pelayaran yang kaya raya dengan kekayaannya tersebut, beliau memiliki banyak jung dan perahu dagang yang dipergunakan untuk berlayar antar pulau. Gelar Widyaningrat pun diberikan kepadanya pada tahun 1727.
Dinamika Pecahnya Perang Kuning Berlangsung
Kepemimpinan yang secara sewenang-wenang dari pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Tionghoa yang berdomisili di Batavia pada tahun 1740 menimbulkan kekisruhan dan pemberontakan dari orang-orang china yang ada di pulau jawa. Penyebab utamanya yakni adanya ultimatum dari Gubernur Jenderal Kompeni Valkenier yang menyatakan untuk semua orang china yang bertempat tinggal di area tersebut harus memiliki surat izin tinggal atau dikenal sebagai peraturan “Var Bligf Verguning”,memutuskan adanya pengurangan jumlah penduduk China di Pulau Jawa, dan menghentikan kedatangan penduduk China dengan alasan mahalnya surat izin tinggal. Akhirnya orang-orang China yang tidak mampu membeli surat izin tersebut harus kembali ke negara asalnya dan sebagiannya di kirim ke Srilangka.
Mengenaskannya, munculnya sebuah berita yang memberitahukan bahwa mereka (orang-orang china) di buang ke laut dan di bantai oleh belanda. Hal ini pun yang menimbulkan perluasan pemberontakan hingga masuk ke wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Namun walaupun begitu, sebagian orang-orang china yang lolos dari pembentaian keji belanda melarikan diri kea arah timur, dan beberapa dari mereka sampai di Lasem, dengan begitu jumlah penduduk china yang ada di Lasem meningkat dua kali lipat dan para pengungsi tionghoa Batavia mendapatkan perlindungan dari Raden Panji Margono. Akhirnya mereka di alihkan di daerah Sambong dan Narukan sebelah barat Kota Lasem.
Akhirnya, Raja Mataram Pakubuwono ll Menyerukan Perang Untuk Melawan Kolonial Belanda
Zaman dahulu kala, pada tahun 1741 benteng kompeni di Kartosuro berhasil di bakar habis dan dihancurkan. Lalu, Sunan Pakubuwono ll memerintahkan untuk seluruh bupati wilayah mataram untuk melawan belanda. Perintah ini secara cepat di respon para pejuang tionghoa Lasem yang sedari lama sudah menaruh dendam terhadap VOC. Akhirnya, mereka sepakat berperang dan bersatu dengan orang pribumi lainnya untuk melawan belanda. Perang tersebut memiliki panglima perang yang sangat gagah berani, diantaranya yaitu:
1. Raden Panji Margono (putra Tumenggung Tejokusumo V Adipati Lasem)
2. Kyai Ali Badhawi (pengasuh pondok pesantren purikawak Desa Sumbergirang)
3. Tan Ke Wi (pengusaha tambak ikan dan ubin terakota. Beliau juga lihai dalam bela diri kung dow)
4. Ui Ing Kiat atau Tumenggung Widyaningrat (orang tionghoa sekaligus pengusaha pelayaran antar pulau).
Serangan oleh para pemberontak Lasem ini dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama melakukan penyerangan dari laut yang di pimpin oleh Tan Ke Wi, dan kelompok kedua di pimpin oleh Raden Panji Margono yang dibantu oleh Kyai Ali Badhawi, dan Tumenggung Widyaningrat.
Serangan pertama pada tangsi kompeni Belanda yang ada di Kota Rembang, penyerangan tersebut mendapatkan bala bantuan dari pemberontak Dresi dan jangkungan. Lalu, penyerbuan tersebut dilanjut di arah barat dengan menggempur tangsi kompeni di arah timur sungai Juwana dengan dibantu oleh masyarakat jawa dan tionghoa dari Purwodadi. Karena pertahanan belanda yang sangat kuat, serangan pertama yang dikerahkan itu gagal. Tapi, di hari kedua, pemberontak berhasil merebut tangsi belanda. Kemudian, di hari ketiga bantuan VOC dari Semarang membalas kegagalannya. Alhasil banyak korban dari pihak penentang Belanda. Maka dari itu, untuk yang ada di arah Juwana dilanjutkan kepada kekuasaan Tan Ke Wi.
Sesampainya di lokasi peperangan, perahu rombongan Tan Ke Wi di hantam meriam VOC. Mereka gugur di tengah laut, tepatnya di Pulau Mondoliko Jepara pada tanggal 5 November 1742.
Kompeni Belanda Menyerbu Kembali di Kota Lasem
Belanda sempat mengakui kekuatan daya perang yang dikerahkan dari para pribumi dan penduduk tionghoa yang bersatu melawan kompeni belanda. Khususnya di wilayah Lasem dan Rembang. Sebab itulah belanda melakukan seribu macam cara untuk mengalahkan pemberontak dengan mengambil bantuan dari kompeni Batavia, prajurit Bugis, prajurit dari Madura yang di bawah pimpinan Cakraningrat, dan prajurit Tuban yang di bawah kekuasaan Tumenggung Citrasuma.
Namun sayang seribu sayang, setelah masa kemenangan para pemberontak VOC Belanda, Pakubuwono ll mencabut dukungannya kepada pejuang perang Lasem dan beralih mendukung pasukan kompeni belanda dengan alasan takut jika harta dan jabatannya akan teringkus. Alhasil Pakubuwono II melarikan diri ke Ponorogo. Dengan adanya peristiwa tersebut sangat mengecewakan bagi para pejuang lasem. Bukan hanya itu saja, pejuang perang yang berasal dari Rembang pun turut mengundurkan diri. Hal ini mengakibatkan pusat peperangan dialokasikan di Kota Lasem. Kekalahan demi kekalahan tertimpa oleh para pejuang Perang Lasem tepat pada tanggal 19 Oktober 1742. Berakhirnya perang di Lasem, maka selesailah serangkaian perang yang ada di Pulau Jawa terutama di Kerajaan Mataram.
Sumber Referensi:
1. Kamzah, R. Panji. 1985, Cerita (Sejarah) Lasem gubahanipun R. Panji Kamzah, Ing tahun masehi 1858 (Tahun Jawi 1787) katurun/ kajiplak dening R. Panji Karsono Ing tahun masehi 1920 (tahun jawi 1857) Semarang: Pambabar Pustaka.
2. Mbah Guru Sejarah Rembang.
3. Dr. Willem G.J. Remmelink. Perang Cina dan runtuhnya Negara Jawa Tahun 1725-1743.
4. Catatan Mbah Slamet Wijaya Gedongmulyo Lasem.
5. Mohammad Al Mahdi, Kisah Pejuang Perang Lasem, Santri, Priyayi, dan Tionghoa.
Penulis: Ayu Lestari
Pokoknya the best