REMBANG, ayusastra.com – Ada cerita yang menarik di daerah kawasan pesisir pantai Kota Lasem. Pasalnya, banyak cerita dan nilai sejarah yang terkandung didalamnya. Suatu senja, terlihat Mbah Sumar yang menyusuri sepanjang jalan di sela-sela senja hampir tenggelam.
Kepalanya dibaluti oleh caping petani yang cukup besar dan menggunakan baju seadanya.
Dia terus berjalan sampai tiba di belantara hutan yang cukup luas. Ia mencoba masuk ke dalam, dan menepis beberapa ranting yang coba menghalangi jalannya.Tidak ada selang lima menit, ada laki-laki yang menegurnya di hutan. Sebut saja Danang.
“Mbah, ewoh opo ning kene?” Tanya laki-laki setengah muda itu.
“Iki lho. Nggolek kayu bakar, nggo masak banyu.” Jawab Mbah Sumar.
Lantas, Mbah Sumar bertanya kembali ke Legiman.
“Omahmu ngendi?” Ujar Mbah Sumar.
“Omahku Lasem kene Iki ae, Mbah. Saya kok tertarik disini pernah ada bangunan kira-kira dulu itu ada bangunan apa ya, pak.” Tegas Danang.
Tangan Mbah Sumar yang sebelumnya memotong ranting kering. Sontak berhenti kemudian duduk bersama si Legiman, menceritakan cerita dari bangunan yang ada disekitar tempat itu.
“Pada zaman dahulu, gunung ini bernama ya adon ayam. Tempat untuk beradu ayam dari orang-orang terdahulu. Kalau kamu penasaran, silahkan saya antar ke lokasi.” Ujar Mbah Sumar.
Karena sudah penasaran, Legiman bergegas berkata iya dan langsung mengikuti Mbah Sumar untuk mengetahui bangunan itu.
Suasana sejuk, hening dan suara berisik dari daun jati yang kering pun mengiringi langkah mereka sepanjang jalan. Terlihat, memang sangat banyak pepohonan yang tumbuh di hutan Lasem itu. Setibanya di bangunan, Legiman kaget dan bertanya kepada orang yang sekarang ada di hadapannya.
“Kok disini banyak bata, ya. Mungkin Mbah Sumar bisa bercerita.” sahut Danang.
“Jadi begini. Zaman dahulu itu ya lebih tepatnya di masa Majapahit. Bata-bata ini dari corak dan bentuk kan sama persis pada zaman itu, nah dulu itu kawasan ini disebut adon ayam ya ini. Adon itu mengadu pitik itu ayam. Jadi di sini ya tempatnya orang zaman Majapahit beradu ayam.” Lanjut Mbah Sumar.
“Loh, dulu itu sudah kenal yang namanya adu ayam ya, Mbah.” tanya Danang sambil terheran-heran.
“Tentu. Oleh karena itu gunung ini terkenal dijuluki dengan nama adon ayam. Adu pitik.” kata Mbah Sumar.
“Terus mbah, kok sekarang bata-bata ini berserakan. Kan lumayan batanya masih utuh dan besar-besar.” terang Danang.
“Tidak. Ya karena sejak Majapahit sudah hilang tempat ini dijadikan sawah untuk menanam padi dan ketela.” jawab Mbah Sumar.
Hanya tersisa batu bata peninggalan dari Majapahit. Dan diduga terdapat sumur kecil atau belik yang dulunya digunakan untuk memandikan ayam untuk diadu.
Mbah Sumar juga bercerita, jika hamparan tanah di sekitar Gunung Adon Ayam ini sangat subur. Setiap padi dan ketela yang ditanam, menghasilkan bulir-bulir padi dan sekumpulan ketela yang melimpah. Loh jinawi.
Leave a Reply