Diskusi Festival Keadilan berlangsung Sumberjo, Rembang. (Doc. Ayu Lestari/ayusastra.com)
REMBANG, ayusastra.com – Social Movement Institute (SMI) bersama dengan komunitas pemuda Rembang saat Festival Keadilan berada di Halaman Pabrik Krupuk Bu Mar, Karang Mencol, Sumberjo Rembang, pada Jumat (3/11/2023) malam hari.
Roadshow festival keadilan dimulai pukul 19.30 WIB dengan menyajikan berbagai kegiatan seperti panggung rakyat, pentas seni, dan diskusi politik yang berlangsung secara runtut dan ditutup dengan pembacaan puisi dari beberapa peserta diskusi.
Pembahasan festival keadilan kali ini mengenai kerusakan lingkungan yang terjadi di Desa Tegaldowo dan beberapa fenomena aturan hukum yang terkesan carut marut karena manipulasi politik yang culas.
Tokoh aktivis lokal Rembang, Yu Sukinah membeberkan kerusakan di Desa Tegaldowo masih berlanjut hingga sampai saat ini yang merugikan masyarakat luas.
Sukinah mengatakan, kerusakan yang ada di Tegaldowo itu karena pengerukan batu kapur secara berlebih. Padahal kapur itu menyerap karbon dioksida 2 dari tumbuhan, jadi perannya sangat penting kalau kapurnya habis, panasnya semakin menyengat, dan peran penting kapur ialah untuk menetralisir air yang asin menjadi air tawar.
Sebagian orang masih mengira kapur itu tidak berguna, itu salah besar. Kapur itu penting untuk oksigen karena ketika pandemi banyak orang yang beli oksigen, padahal di desa oksigen di berikan secara cuma-cuma oleh alam.
“Saya dengan dulur dulur petani yang lain ada merasa kepayahan karena keterbatasan lahan dan suplai air. Maka dari itu, kami menyuarakan perusakan yang ada di Desa Tegaldowo ke Kabupaten. Lantaran kami berharap dari pemerintah mendengarkan suara-suara para petani. Tapi faktanya, di lapangan pemerintah di kabupaten Rembang malah diam,” tandas Sukinah.
Selaras dengan hal ini, Sukinah menjelaskan sebelum pabrik semen berdiri tahun 2014, para petani Desa Tegaldowo memblokir jalan yang ada di pintu masuk tapak pabrik.” kata Sukinah.
Sampai ada saudara kami yang ada dua orang sampai di lempar ke semak-semak tapi Alhamdulillah dengan tekat yang bulat, ada dua orang teman saya yang punya riwayat lemah jantung akhirnya menjadi sehat dan kuat sampai sekarang ini masih menyuarakan tentang kerusakan yang ada di Desa Tegaldowo,” sahut Sukinah.
Ia ingat betul jika saat itu kepala daerah, Ganjar Pranowo, menginstruksikan untuk menggugat pabrik semen apabila perusahaan tersebut menyalahi aturan.
“Mengingat perkataan beliau, akhirnya saya dan teman-teman menggugat, karena pada waktu itu pak Ganjar bilang jika memang pabrik semen salah, gugat saja di PTUN Semarang. Lantaran kami yakin bahwa pabrik semen itu salah, kami menggugat di PTUN Semarang, lalu kami mengajukan dan akhirnya di terima. Pada saat sidang putusan sebanyak 19 kali yang kami lakukan, hasil memutuskan jika gugatan tersebut telah kadaluarsa,” tegasnya.
Namun kenyataannya, petani Gunung Kendeng merasa dibohongi oleh pemerintah yang pada saat itu memberikan rekomendasi untuk menggugat pabrik semen.
“Ketika menggugat dengan fakta yang terjadi kerusakan bersifat masif, tapi pemerintah masih diam. Dan akhirnya kami lapor ke PTUN Surabaya juga hasilnya sama, kadaluarsa. Terus akhirnya kami kasasi. Dan memang benar, aduan kami kadaluarsa,” jawabnya.
Sukinah bercerita, tiga tahun berlalu, aktivitas peledakan tambang secara masal masih berlanjut.
“Keresahan ini masih melanda warga Kendeng. Setelah menyadari jika perkara tersebut dianggap kadaluarsa, kami mencari bukti baru yang akan kamu ajukan ke Mahkamah Agung bersama mbak Asfin selaku lawyer kami warga kendeng,” ungkapnnya.
Aktivis dan advokat Hak Asasi Manusia (HAM), Asfinawati menjelaskan, ketika tahun 2019 kala itu tengah ramai campaign demonstrasi tentang UU Hukum Pidana yang baru yang fungsinya untuk menghukum orang.
“Pasal yang paling lucu salah satunya adalah kita akan kena denda 10 juta apabila mengibarkan bendera kusut atau pudar. Terbitnya pasal tersebut, tahun 2019 banyak demonstran mendengar ucapan pemerintah ‘Gugat Saja, Jangan Demonstrasi’. Nanti kita akan bicara yang sebaliknya, Kenapa kita tidak boleh demonstrasi, kenapa harus menggugat,” ucap Asfin.
Persoalan selanjutnya, terkait perlawanan keputusan pengadilan. Kawan kawan kendeng sebenarnya sudah menang, tapi tidak bisa dilaksanakan dan pabriknya tetap beroperasi.
“Dari peristiwa ini, saya bisa menarik kesimpulan jika hal hal yang dialami saudari Yu Sukinah itu menjadi seakan-akan sah. Artinya perampasan tanah dan ruang hidup Meraka seakan-akan sah melalui hukum. Karena aturan hukum dibuat oleh penguasa karena saya punya wewenang untuk menerbitkan peraturan daerah, saya bisa ganti. Daerah yang tadinya tidak ada proyek pembangunan, menjadi sasaran pembangunan,” kata Asfin.
Pada akhirnya, setelah melihat kasus di Kendeng, di atas hukum masih ada politik. Suatu hukum dikendalikan kendaraan yang bernama politik. Kalau politiknya buruk dan busuk politisi dan wewenangnya akan buruk.
Kendati demikian, Fatia Maulidiyanti, mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan, segala macam aturan hukum di buat dari yang melanggar kebebasan berekspresi, sampai bahkan melanggar kekayaan alam.
“Indonesia tidak akan menjadi negara agraris lagi jikalau pada akhirnya, aturan dan pintu terhadap investor dibuka secara luas. Yang akhirnya paling kaya dan lebih kaya ketika investasi itu dibuka ya penguasa dan pengusaha, nah jadi kita ini sudah diobrak-abrik dengan hukum yang ada,” jawab Fatia.
Masyarakat dihantui dengan pembentukan aturan undang-undang pada akhirnya mencederai hak kita. Ketika orang-orang mencoba untuk membela haknya sendiri.
“Karena salah satu esensi dari kebebasan sipil adalah kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul. Kalau kita tidak bisa demo kita tidak bisa protes, seruan. Lalu bagaimana kita mau negara ini menjadi lebih baik? Kita selama ini hanya di cap sebagai musuh negara kalau banyak protes,” pungkas Fatia.
(ayl/dna)
Leave a Reply