
Ilmu adalah sumurnya pendidikan, sumur-sumur tersebut dapat diketahui seberapa dangkalnya permukaan yang ada di sumur tersebut. Berkaitan dengan jumlah grafik di bidang pendidikan memberitahukan bahwa Negara Indonesia mempunyai 200 ribu sekolah, 45 juta murid, dan 2 juta guru atau tenaga didik. Dari hasil inilah dapat diketahui akumulasi yang ada seharusnya bisa menciptakan kualitas bagi sumber daya manusia yang terdidik secara kontekstual, bukan hanya secara tekstual saja. Akan tetapi sayangnya performa negara kita masih terbilang rendah dengan menduduki ranking 62 dari 70 negara di dunia.
Dilihat dari elemen yang terkait di lembaga pendidikan, seperti kurangnya guru profesional di setiap bidangnya, inovasi dalam strategi pembelajaran atau mungkin performa pendidik dalam mengajar yang tidak dinamis menyebabkan ketidakpuasan dari peserta didik untuk menyerap segala ilmu-ilmu pendidikan. Disertai juga dengan permasalahan yang ada di bidang pendidikan, diantara lain sulitnya jangkauan belajar melalui daring itu semestinya tidak menjadi persoalan. Karena belajar, bukan hanya didapati di sekolahan saja, akan tetapi di ruang publik manapun bisa kita ambil sebuah pembelajaran dan pengalaman yang bisa diterapkan.
Namun, kita bisa lihat dinamika pendidikan di Indonesia, masih terlalu fokus berkutat dengan nilai akademik yang bagus dan akan mempengaruhi tingkat kebahagiaan, kesejahteraan anak didik setelah ia menyelesaikan jenjang pendidikannya. Padahal, orang yang tidak mengenyam bangku pendidikan sekalipun. Ia masih berkesempatan untuk meraih kesuksesan. Dan lagi-lagi, sekolah hanya menjelaskan apa tapi bukan kenapa. Lebih teoritis daripada praktik untuk dikembangkan. Pendefinisian makna dari kata per kata hanya merujuk ke satu titik yang telah tertuang tanpa adanya penambahan referensi dari sudut pandang siswa-siswinya.
Hal yang diajarkan di sekolah tidak relevan dengan hal yang dibutuhkan serta membunuh kreativitas muridnya. Seperti yang telah dijelaskan dari pernyataan diatas, pembelajaran yang bersifat konvensional akan mengakibatkan daya inovasi dan kreativitas anak tidak sering diasah, alhasil pemahaman yang stagnan dan terus berulang-ulang dari zaman ke zaman.
Memilih untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi menjadi suatu ajang bergengsi yang dilihat dari strata pendidikan maupun sosial. Banyak dari kalangan mahasiswa yang mengira dengan melanjutkan kuliah tingkat kebahagiaannya akan semakin meningkat, dengan fatwa yang menjaminkan seorang sarjana akan lebih mudah dalam mencari pekerjaan yang lebih layak, apakah konsep nyatanya seperti itu? Atau bahkan apakah seseorang akan dicap salah memberatkan jalan hidupnya karena memutuskan untuk kuliah sambil bekerja ?
Pendidikan sebagaimana telah kita ketahui merupakan ajang untuk menimba ilmu dari beberapa pengetahuan serta meningkatkan perkembangan dalam menganalisa kehidupan. Jaminan bekerja sesuai dengan jurusan atau program studi yang diambil sekarang hanya bersifat bonus dan sudah tidak menjadi jaminan yang pasti. Bahkan, menjadi sarjana bukan hanya melulu perihal yang bersifat material. Hanya saja dengan kita melanjutkan di perkuliahan tujuan hidup cenderung dapat difokuskan sesuai kemampuan atau skill yang kita dapatkan selama belajar. Dari sekian banyak peraduan yang klise soal tatanan pendidikan di Indonesia, lebih-lebih bisa menciptakan lulusan yang terdoktrin pasal dari keuntungan lulusan sesuai jurusannya masing-masing.
Lalu, apakah dengan menjadi lulusan jurusan pendidikan sarjana tersebut setelahnya akan menjadi guru? Tentu tidak. Apakah dengan menjadi lulusan sarjana pariwisata akan terealisasikan bekerja di dunia pariwisata? Tidak juga. Apakah dengan menjadi lulusan jurusan keperawatan akan dinobatkan menjadi perawat semua. Itu hal yang tidak rasional. Takdir seseorang berbeda-beda. Dapat dirubah tergantung dari keadaan atau sebuah takdir alam yang mempengaruhi jalan hidup setiap manusia.
Leave a Reply